Mencengangkan. Laporan Majalah Tempo Edisi 5-11 September 2016 mengungkap hasil survey Wahid Foundation yang bekerjasama dengan Lembaga Survey Indonesia (LSI). Survey dilakukan terhadap 1.520 responden pada 30 Maret - 9 April 2016 lalu. Dari aspek metode, dilakukan melalui proses tatap muka. Ambang kesalahan survey 2,6 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Dalam proses jajak pendapat itu, menunjukkan gambaran bahwa sebagian besar responden tidak bersedia melakukan tindakan radikal. Namun ada satu gejala mengkhawatirkan. Yakni sebanyak 0,4 persen responden pernah melakukan tindakan radikal. Selain itu, sebanyak 7,7 persen menyatakan bersedia ikut dalam kegiatan radikal. Semisal sweeping, berdemonstrasi menentang kelompok yang menodai Islam, dan menyerang rumah ibadah agama lain.
Artinya, jika dikonversi dengan jumlah penduduk, ada sekitar 11 juta orang di Indonesia yang bersedia ikut tindakan radikal. Sementara 600 ribu (0,4 persen) di antaranya pernah melakukan tindakan radikal. Hasilnya, faktor paling berpengaruh terhadap kecenderungan ini ada pada pemahaman agama Islam yang literal atau harfiah.
Saat ditanya ihwal pembangunan rumah Ibadah bagi Non Muslim, sebanyak 52 persen mengaku keberatan. Yang tersisa hanya 41 persen menyatakan tidak keberatan. Selebihnya 6,9 persen menjawab tidak tahu.
Pada aspek demografi, responden yang pernah ikut tindakan radikal rata-rata memiliki tingkat pendidikan SD dan SMP. Sebanyak 50 persen tamatan SD dan 50 persen tamatan SMP. Penghasilan mereka pun kurang dari Rp1 juta per bulan. Serta 83,33 persen berdomisili di wilayah perdesaan.
Dari paparan angka-angka di atas makin dikuatkan dengan adanya fakta empirik terkait perencanaan pembunuhan terhadap Pastor Albert Pandiangan di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Medan. Pelaku pembunuhan itu terbilang masih remaja. Umurnya baru 17 tahun. Beruntung karena masih dapat dicegah oleh penduduk setempat.
Masih dalam laporan Tempo, seorang pemuda bernama Zefrizal Nanda Mardani telah dirasuki pemikiran radikalisme sejak duduk di bangku SMA. Wajar saja, saat lulus ujian masuk di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, ia telah hilang tak berjejak.
Menanggapi hal ini, patut kiranya untuk meneropong kembali pola pendidikan keagamaan. Utamanya yang digalakkan pada berbagai sekolah. Sebab bukan hal mustahil jika akar radikalisme itu masih menghunjam kuat di berbagai lembaga pendidikan. Contoh paling sederhana, ketika sebuah lembaga pendidikan tak lagi menyelenggarakan Upacara Bendera, itu telah memberi sinyal adanya sikap tak mencitai NKRI.
Atau pada setiap kajian keagamaan, konsep negara (khilafah) selalu menjadi tema awal dan akhir. Jika ini dibiarkan berkembang pada sebuah sekolah, percaya, ini bukan hanya membuahkan masalah bagi sekolah. Tapi telah merambah menjadi ancaman besar bagi suatu wilayah.
Pemerintah kadang melakukan penyederhanaan terkait masalah ini. Tak jarang kita mendengarkan kalimat yang terkesan melihat fakta ini sebagai fenomena yang mudah penyelesaiannya. Padahal ini jelas membutuhkan sentuhan khusus dalam penanganannya.
Lembaga-lembaga keagamaan juga sejatinya tak memandang hal ini sebatas problem khilafiah. Jauh dari itu, ini masalah Ideologi. Ini soal kekuatan kita merawat bangsa dan agama secara bersama-sama.
Penyelesaian masalah ini memang berat. Tapi mesti dilalui. Pemerintah tak boleh larut pada sikap menyederhanakan persoalan. Terhadap kita semua, mari selamatkan generasi dari bahaya Radikalisme. Tak mesti terlalu jauh menengarai ancaman itu. Cukuplah anda mawas diri dengan fasilitas terknologi yang mengitari kehidupan generasi masa kini.
Komentar