Langsung ke konten utama

Nyawa Akbar, Amarah Ular

Siapa yang tak gusar? Saat mendengar seorang pria bernama Akbar telah diterkam seekor ular. Kabarnya tak hanya berputar dibenak warga Sulbar. Namun telah melebar keluar. Dunia pun mempermaklumkan bahwa Sulbar sebagai lumbung paling padat dihuni banyak ular.

Kali ini kita pun kembali tersadar. Tentang kehidupan alam yang kian punah lagi pudar. Pun pada kehidupan ular yang terus terdampar. Karena ulah manusia yang kian sangar. Para aktivis lingkungan kini memicingkan mata, memadatkan pikiran-pikiran segar. Dari peristiwa yang terlampau terdengar sebagai kabar amarah alam lewat utusannya; seekor ular.

Segenap gugusan perspektif hingga kritikan pedas kini terlempar kesana kemari. Tak tahu siapa yang harus bertanggung jawab terhadap peritiwa memilukan ini. Kendati demikian, sebelum energi itu terkuras habis hanya karena ihwal saling tuding di antara banyak pihak, pendekatan esoterik agaknya penting sebagai garapan perspektif yang selama ini cenderung diabaikan. 

Menurut Mulyadhi Kartanegara dalam bukunya: “Mengislamkan Nalar; Sebuah Respon terhadap Modernitas (2007)”, kebanyakan dari kita hidup di abad modern ini cenderung melihatnya dari aspek fisiknya (eksoterik) saja. Lalu mengabaikan apa yang oleh para Sufi disebut dengan dimensi esensial.

Model kerja manusia sekuler memang telah berhasil melanggengkan kecanggihan teknologi. Bahkan mendongkranya hingga ke level yang serba maju dari waktu ke waktu. Namun pernahkah dibayangkan atas dampak yang ditimbulkan oleh proses alienasi alam? Setelah kita terlanjur nyaman dengan memosisikan diri bahwa Manusia sebagai subjek. Sementara alam sebagai objek dalam kehidupan ini.

Dengan anggapan yang terus berlangsung ini, manusia melakukan praktik ekspolitasi secara berlebihan hingga melupakan satu pesan penting; alam juga bagian dari entitas yang hidup. Akibatnya, kekuatan alam kian hari terus melemah hingga ke titik nadir. Alam kehilangan kendali. Amarahnya membuncah dalam segenap artikulasi bencana. Tak terkecuali, alam mengirim pesan simbolik amarah lewat seekor ular, lalu memangsa seorang Akbar. 

Esoterisme Islam dan Etos China

Ihwal esoterisme, berarti kita sedang membincang ruang batin dari entitas kehidupan ini. Salah satu kesadaran esoteris dalam Islam bahwa dari Tuhan sebagai Realitas Terakhir, muncullah hirarki wujud yang turun secara vertikal dari Tuhan. Melalui dunia spiritual (jabarut) dan dunia imajinal (malakut), hingga sampai ke dunia material (alam al muluk). 

“Dalam dunia material sendiri, wujud mencapai level terendah; dunia mineral. Namun dari dunia mineral ini, gerak evolusi merangkak ke atas melalui kerajaan-kerajaan tumbuhan dan hewan, sampai kepada manusia. Level tertinggi dari proses evolusi biologis. Di sinilah, manusia menempati posisi sangat istimewa di alam kosmos,” tulis Mulyadhi Kartanegara. 

Menurut Jalaluddin Rumi, manusia adalah buah yang untuknya sebuah pohon itu tumbuh. Jadi, terdapat keterkaitan yang cukup erat antara dimensi alam dan dimensi kemanusiaan itu sendiri.

Hal senada juga terdapat dalam Buku Etos Budaya China, karya Wang Keping (2007). Sebagaimana dengan gagasan di atas, sejarah intelegensia China menjadi saksi atas eksplorasi terus-menerus terhadap pertemuan kiasmik antara Langit (Tian) dan Manusia (Ren) yang kondusif bagi konsepsi inti kesatuan langit-manusia (tian ren he yi). Ini sebagai etos umum dalam filsafat China. 

Dalam tradisi Konfusianisme, contohnya, dipenuhi tiga subtansi dasar kehidupan. Subtansi dasar yang dimaksud adalah Langit (Tian), Bumi (Di), dan Manusia (Ren). Sementara Daoisme menitikberatkan pada empat bagian besar. Yaitu dengan menambah satu hal; Dao atau Tao

Etos Budaya China juga sangat intim mereguk perenungan mendalam terhadap realitas kesatuan antara langit bumi dan manusia. Bahkan menurut Chuangzi, orang yang hendak melakukan tirakat Dao atau Tao, hendaklah lebih awal mematuhi arah, gerak dan kehendak alam. Sebab pada dimensi alam (baca: lingkungan), bukan hanya menyajikan dimensi kealamiahan. Namun juga menyimpan pesona keindahan yang menakjubkan serta keheningan yang luhur. 

Kembali kepada esoterisme Islam. Kata Mulyadhi, setidaknya terdapat tiga konsep Sufi dalam memandang alam. Pertama, alam merupakan berkah Tuhan yang tak bertepi. Kehadiran alam merupakan anugerah yang mesti disyukuri. Tanpa harmoni yang ‘dimainkan’ oleh alam, kehidupan ini hanya akan memunculkan kegersangan, huru-hara hingga kehancuran dan kebinasaan. 

Kebutuhan terhadap air misalnya, sangat erat kaitannya dengan sejaumana kepekaan kita dalam merawat sumber-sumber air dari alam. Pun dengan kualitas kejernihannya. Sikap mencampakkan sumber-sumber pasokan air bakal memberi jawaban mengecewakan. Kita akan sulit menemukan air yang jernih di tengah cara dan gaya hidup kita kita tak tulus untuk menyadarinya betapa alam ini benar-benar merupakan berkah ilahi yang selama ini terus diremehkan. 

Demikian halnya dengan kehadiran matahari yang setiap hari hadir menyapa kehidupan. Dapat dibayangkan, tanpa matahari, takkan ada pohon yang tumbuh, tak ada hewan yang dapat hidup, dan pada gilirannya, manusia pun sulit untuk bertahan mengarungi kehidupan ini.

Karena itu, bagi para Sufi, manusia adalah saluran berkah Tuhan (barakat) bagi alam. Yakni melalui partisipasinya yang aktif dalam dimensi spiritual alam. Manusia adalah mulut lewat mana jasad jasad alam bernapas dan hidup. 

Satu hal yang pasti bahwa alam bukanlah objek yang mati terbujur kaku. Melainkan makhluk hidup yang juga memiliki potensi untuk mencintai kehidupan di sekitarnya. Ketika ular menerkam manusia, jelas itu bukan peritiwa yang lazim. Ular itu sangatlah pemalu tipikalnya. Sikap buasnya hanya berlaku di saat kehidupan sekitar memasuki zona darurat. Ketidakpekaan manusia disambut hangat oleh ular yang sedang lapar. Manusia sudah dianggap tak mampu menebar berkah di muka bumi. 

Kedua, alam sebagai ayat-ayat Tuhan (Ayatullah). Dalam Islam, alam bukan hanya sebatas entitas yang beku, tanpa menyiratkan pesan apa-apa. Alam merupakan cermin yang memantulkan pesan apa pun yang ada di dunia atas (langit). Sebuah panorama simbol yang luas, yang berbicara kepada manusia dan memiliki makna baginya.

Saya pun pernah berjumpa dengan seorang ulama yang begitu mudah membaca gerak alam sebagai firasat masa depan. Bergoyangnya selembar daun, bagi sang Ulama itu, menggambarkan bakal terjadinya sebuah kejadian. Entah kabar gembira ataukah maklumat penuh duka. 

Bertenggernya puluhan ekor burung pada tangkai pohon juga memberi isyarat yang berbeda dengan hanya seekor burung yang bertengger. Dan bagi kaum ahli Hikmah memberi pesan mendalam; Seekor kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya, sesungguhnya turut menggerakkan ombak di lautan luas. 
Sayangnya, kecakapan membaca isyarat alam haruslah sejurus dengan kebeningan hati menerima petunjuk Tuhan. Bukan dengan keegoisan menggarap lahan atas nama merebut tumpukan harta dengan semena-mena. Kata Rumi, setiap manusia yang gerbang hatinya terbuka, akan melihat matahari kebenaran dari arah manapun. 

Marilah belajar kepada persitiwa Nabi Ibrahim saat sekujur tubuhnya dibakar oleh Raja Namrudz. Peristiwa heroik itu sungguh sarat dengan beragam isyarat alam. Termasuk dengan gaya pertolongan sejumlah binatang terbang agar Nabi Ibrahim terlepas dari kobaran api. Sekali lagi, bukankah itu pertanda alam ini merupakan bagian dari ayat-ayat Tuhan? 

Ketiga, alam sebagai tangga spiritual. Kesadaran beragama takkan pernah mencapai hasil sempurna jika hanya terpaut pada perangkat pengetahuan yang biasa-biasa saja. Itu hanya akan menjadi objek debat kusir lalu berakhir dalam wujud hijab yang makin tebal di antara hamba dengan Tuhan. Terlebih lagi jika perdebatan bermotif agama hanya berkisar di arena kulit luar saja. 

Dibutuhkan kesungguhan menggerakkan jiwa pada kesejatian. Dalam artian, keyakinan yang utuh bukan diukur dari kecakapan manusia mencurahkan teori keyakinannya. Melainkan pada ketegasan untuk memastikan bahwa tak ada setetespun cairan keraguan yang merembes ke dalam batinnya (haqqul yaqin). 

Kepekaan terhadap amarah alam dapat menjadi pertanda bahwa selama ini, kita belum menyentuh alam dalam dimensi ruhani. Padahal, ketulusan batin merawat alam, menjaganya dan melestarikannya adalah bagian dari cara Tuhan menyiapkan tangga langit terhadap setiap hamba-Nya yang mendambakan pendakian spiritual menuju puncak kesempurnaan. 

Maka, sebagaimana kita adalah milik Tuhan, tumbuhan dan hewan pun adalah milik Tuhan. Ambisi untuk saling menerkam di antara seluruh milik Tuhan sungguh merupakan bagian dari kecerobohan yang tak terampuni. Sebab tak elok jika sesama mahluk saling menghabisi. Apa kata Tuhan nanti? Sekian.

Terbit di www.wacana.info

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa