Gerakan intoleransi kini bukan lagi sebagai fenomena remang-remang. Penetrasinya merangsek ke sejumlah ruang sosial yang lebih terbuka. Bahkan tak jarang ditemukan sisi yang cenderung merespon agenda kebangsaan, kendati pada kesimpulan akhirnya menawarkan gagasan yang sangat kering dari semangat kebangsaan itu sendiri.
Gagasan merawat nasionalisme misalnya, seringkali diseret pada perspektif menggusur keragaman. Nasionalisme ditampilkan dalam wajah seragam dan serba tunggal.
Di lain sisi, harapan umat menuntut agar agama mampu memberi jawaban sesederhana mungkin atas apapun yang sedang dihadapi. Sehingga wajar ketika muncul upaya penggalian serius terhadap esensi keberagamaan.
Inilah yang menjadi entri point dari pertemuan lintas agama yang dimotori Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sulawesi Barat, Rabu 1 Maret 2017 lalu.
Dalam kesempatan itu, Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil Kementrian Agama Sulbar, Muhammad Dinar Faisal menggariskan hakikat keberagamaan ada pada pelayanan. Makin tinggi kesadaran memberi pelayanan, agama pun akan semakin dikejar sebagai jawaban atas seluruh persoalan kehidupan.
"Untuk itu, kita perlu untuk terus menggaungkan aspek moderasi dalam beragama. Kita tetap utuh dengan kayakinan personal masing-masing. Namun di saat yang sama kita juga tak mesti merendahkan kehormatan penganut keyakinan orang lain," terang Dinar.
Pdt. Simon Topengae, perwakilan Kristen menuturkan, apa yang terjadi dewasa ini memerlukan perhatian serius dari semua pihak, khususnya dari kalangan tokoh-tokoh agama. Sudah tidak cukup jika hanya gagasan tolernasi terus bertengger dalam kesadaran para tokoh. Tapi yang lebih penting adalah menyemaikannya di level jemaat.
"Untuk itu kita perlu melihat lebih dekat apa sesungguhnya yang terjadi di berbagai daerah. Termasuk kita bisa mendeteksi lebih detail terhadap sekian banyak persoalan yang dihadapi tiap-tiap wilayah," katanya.
Untuk mendaratkan agenda kerukunan itu, kata Dinar, sudah saatnya untuk mendudukkan dalam kerangka riset. Agar proses identifikasi dan solusinya dapat benar-benar terukur dan terarah.
Hemat saya, riset kerukunan merupakan opsi yang cukup tepat untuk mendudukkan setiap persoalan, hambatan, serta jalan keluar dari berbagai kebuntuan yang menghambat agenda kerukunan itu sendiri. Jika lebih tegas, kita boleh menyatakan, sudah bukan masanya kita mendialogkan kerukunan umat beragama dalam frame berpikir serba asumtif. Melainkan seluruhnya dibangun secara akademik, agar tak ada pihak yang dirugikan akibat asumsi-asumsi yang kita bangun selama ini.
Riset kerukunan, di saat yang sama, juga memberi gambaran terhadap potensi intoleransi di tiap wilayah maupun organisasi tertentu. Pada aspek geografis, riset kerukunan memungkinkan adanya penemuan terhadap wilayah rawan konflik. Tak terkecuali, riset kerukunan bakal menampakkan grafik modus intoleransi.
Dengan riset ini, kita dapat merancang indikator yang digunakan, bersifat universal, serta menihilkan peluang subjektivitas masing-masing pihak.
Karena itu, ketika Sulawesi Barat seringkali dipandang miring oleh "Orang-orang Jakarta" dengan tuduhan sebagai wilayah rawan konflik, semua itu dapat dibantah dengan sanggahan yang lebih ilmiah. Lewat apa? Sekali lagi, lakukanlah Riset Kerukunan! Sekian.
Komentar