Catatan di Balik Penolakan Proyek Pembangunan Embung Baruga Majene (4)
Waktu berlalu, zaman pun berubah. Kampung Baruga sontak mengalami suasana lain. Seolah citra kesantunan yang terlampau mendarah daging itu lepas dari sangkarnya. Nilai-nilai Karamah yang diwariskan sejumlah ulamanya seakan lenyap dalam hikayat masa silam saja.
Sebaliknya, cerita tentang rencana proyek pembangunan Embung di Lingkungan Baruga Barat merupakan titik balik kemunculan amarah warga setempat. Kesan berhadap-hadapan dengan pemerintah telah menjalar sebagai kekecewaan bersama atas kebijakan yang dipandang tak menimbang sisi manusiawi.
Penolakan ini mengingatkan kita perlawanan warga hutan Amazon Brazil di-era 1980-an. Hingga dibuatkan film khusus berjudul Chico Mendes untuk mengingatkan dunia betapa pentingnya memetik pelajaran dari Tragedi Amazon itu. Mereka berusaha mempertahankan eksistensi dari hutan karet sebagai ladang untuk mempertahankan hidup warga Chacoeira yang bekerja sebagai penyadap getah karet.
Sama halnya dengan Warga Baruga yang mengajukan keberatan atas pembangunan Embung. Alasannya sederhana, mereka tak punya kepastian masa depan ketika Proyek itu tetap dilanjutkan. Koordinator Forum Masyarakat Baruga (FMB), Syamsuddin mengatakan, jika proyek itu tetap dilanjutkan, akan memiliki dampak negatif terhadap 14 kepala keluarga yang mendiami areal tersebut.
“Jumlah pemilik lahan 14 orang yang lahannya akan terkena dinding bangunan. Sementara lahan yang bakal terkena dampak embung tidak dapat ganti rugi lahan. Kalau pun diganti rugi, sampai saat ini belum ada kesepakatan apalagi kepastian berapa nominalnya. Kasihan masyarakat,” katanya kepada Rakyat Sulbar.
Syamsuddin yang merupakan Alumni Sosiologi Unhas ini menyampaikan, sejak awal rencana pembangunan Embung menimbulkan banyak tanda tanya. Hal ini berawal dari munculnya sikap warga yang kaget akibat kedatangan oknum tanpa izin langsung memasang patok di areal kebun warga. Hal ini bagi Syamsuddin, merupakan langkah salah kaprah.
“Bayangkan sosialisasi saja tidak ada. Kenapa langsung mau datang pasang patok di kebun warga. Ini kan cari masalah namanya. Jadi menurut kami ada dua hal yang tidak dilakukan. Pertama belum ada sosialisasi. Kedua, kami menduga ada lompatan prosedur. Jadi wajar kalau kami menolak,” tegasnya.
Selain itu, kata salah seorang warga, Muhammad Najib mengatakan, proyek Embung lebih awal datang dengan sejumlah keanehan. “Kita tidak pernah menemukan adanya studi Amdal, atau pun UPL/UKL-nya. Jadi kami bingung, ini proyek apa. Kenapa ada kesan disembunyikan. Bahkan kalau kami lihat kenapa terkesan dipaksakan,” ucapnya.
Selain itu, kata salah seorang warga, Muhammad Najib mengatakan, proyek Embung lebih awal datang dengan sejumlah keanehan. “Kita tidak pernah menemukan adanya studi Amdal, atau pun UPL/UKL-nya. Jadi kami bingung, ini proyek apa. Kenapa ada kesan disembunyikan. Bahkan kalau kami lihat kenapa terkesan dipaksakan,” ucapnya.
Padahal jika merujuk pada regulasi, sebelum proyek ini dijalankan, semestinya dapat mencermati Peraturan Menteri Lingkungan Hidup no. 05 tahun 2012 pasal 3 ayat 1. Pengganti Permen LH no.11 tahun 2006 tentang jenis rencana usaha dan/ atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan analisis dampak lingkungan.
Demikian halnya dengan pasal 3 ayat 2 disebutkan kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tercantum dalam lampiran III yang merupakan bagian tak terpisahkan dari peraturan menteri.
“Kami hanya minta klarifikasi supaya Proyek ini bisa berjalan berdasarkan hasil kajian ilmiah. Seandainya ada Amdal, itulah yang ideal kita diskusikan,” tegasnya.
“Kami hanya minta klarifikasi supaya Proyek ini bisa berjalan berdasarkan hasil kajian ilmiah. Seandainya ada Amdal, itulah yang ideal kita diskusikan,” tegasnya.
Sementara itu, tokoh Masyarakat Baruga, KH. Nur Husain menuturkan, dalam anggapan warga, proyek tersebut akan memiliki dampak kerugian signifikan bagi warga. Khususnya pemilik lahan perkebunan.
“Lahan warga pasti tergenang. Perhitungannya itu akan tergenang sampai di Kampung Asi-asing. Di situ ada perkebunan, pemukiman, Mushalla bahkan kuburan keluarga kami. Itulah sehingga masyarakat cenderung menolak proyek embung ini,” kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Majene ini.
“Lahan warga pasti tergenang. Perhitungannya itu akan tergenang sampai di Kampung Asi-asing. Di situ ada perkebunan, pemukiman, Mushalla bahkan kuburan keluarga kami. Itulah sehingga masyarakat cenderung menolak proyek embung ini,” kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Majene ini.
Kata Kiai Nur, pemerintah terkesan ngotot melaksanakan proyek itu. Pasalnya, dalam beberapa kali pertemuan dengan pemerintah, selalu saja mengalami kebuntuan dialog. “Waktu ada pertemuan di Kantor Bupati, saya katakan barangkali perlu ada studi Amdal. Tapi alasannya waktu itu, proyek seperti ini kecil sehingga tidak perlu Amdal. Tapi persoalannya kita kan perlu studi lebih awal atas dampak yang akan ditumbulkan nantinya. Kasihan masyarakat itu. Nah tidak pernah juga ada solusi yang kita terima sampai saat ini. Masyarakat juga menolak saja,” keluhnya.
Jika ditelisik tabir teoritis di belakang layar dramaturgi penolakan itu, akan mudah dipahami jika menggunakan alat ukur al Muwafaqat yang diwariskan oleh Abu Ishak Ibrahim bin Musa al-Lakhami al-Gharnati alias Imam al-Syatibi melalui gagasan Maqashid al-Syariah-nya. Ulama kelahiran Granada ini mencetuskan filosofi penerapan regulasi yang mesti mengedepankan aspek kemaslahatan. Bahwa sebuah regulasi diciptakan tak lepas dari landasan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.
“Ketika embung itu dipaksakan untuk dibangun, apakah pemerintah sudah punya jaminan untuk masa depan warga yang lahannya akan tergenang nantinya. Kalau belum, menurut kami jangan dipaksakan. Kita mesti mencari solusi yang lebih manusiawi,” tegas Najib.
Komentar