Catatan Dialog Wawasan Kebangsaan (Bag I)
Tentu mengagetkan, saat menyebut Majene sebagai zona 'kuning' dalam urusan kewaspadaan terhadap jaringan kelompok radikal yang sering mengatasnamakan agama. Lebih mengagetkan lagi di saat Ibu Kota Mandar lama ini dianggap sebagai pemasok kader-kader muda berideologi radikal.
Sebelum menjawab kegusaran itu, penting kiranya mendudukkan hal ini dalam lanskap yang lebih jernih. Agar tak meluber menjadi sebatas kasak kusuk wacana saja.
Dalam dialog wawasan kebangsaan yang digagas harian Rakyat Sulbar Selasa (28/1) lalu, berkembang berbagai hal aktual seputar ruang lingkup agama yang cenderung makin sempit lagi rigid. Daya tafsir terhadapnya dikerangkeng seketat mungkin, hingga tak ada lagi celah untuk membaca ayat-ayat Tuhan dalam dimensi lintas perspektif. Semuanya terpasung dalam kekakuan teks dan arti. Lalu menegasikan ruang makna yang lebih lentur.
Kepala Dinas Pemuda, Olah Raga, Pariwisata dan Kebudayaan Majene, Abdul Hamid menegaskan adanya potensi kekerasan atas nama agama itu. "Kami akui ada ancaman banyaknya kelompok radikal dan itu dari unsur pemuda," ujar Hamid, salah seorang narasumber dalam dialog yang digelar di ruang pola Kantor Bupati itu.
Dalam paparannya, mantan Kepala Dinas Pendidikan ini menyampaikan urgensi penanaman nilai berdimensi spiritual. Sehingga citra Islam di mata publik tak tercederai oleh ulah oknum atas nama agama. "Menurut saya, Citra Islam harus diluruskan kembali. Padahal tidak seperti itu ajaran keluhuran agama Islam," tambahnya.
Di hadapan peserta dialog, Hamid memberikan catatan akan pentingnya mendorong kaum muda untuk terus bergerak dalam cakrawala pengetahuan, agar tak terpasung pada pahaman yang tak berdasar.
Bupati Majene, Kalma Katta tampaknya tak ingin menampakkan kekagetan atas tudingan itu. Dirinya memilih langkah yang lebih strategis dengan mendorong agar kaum muda bergerak lebih kolektif. Bukan parsial.
"Kita butuh kebersamaan kepemudaan, dalam bentuk rencana aksi kepemudaan. Untuk itu, kita perlu Identifikasi kekerasan terhadap agama-agama," katanya.
Identifikasi ini diperlukan, apalagi ketika menengok progres Kabupaten Majene menuju Ibu Kota Pendidikan di Sulbar. Dalam artian, untuk menangkal potensi Radikalisme yang setiap saat mengancam ruang lingkup kehidupan kaum muda, diperlukan pola dan strategi yang tak hanya mendebat radikalisme. Tapi lebih penting, menjauhkan generasi dari segala bentuk jaringan radikal atas nama agama, sekaligus gerbong pengutuk para pemimpin di negeri ini.
Jika hari ini Majene disebut sebagai lapangan bebas para penanam ajaran Radikal, semestinya memang perlu rumusan yang lebih jelas agar tuduhan itu tak mewujud sebagai fakta yang tak terbendung.
Sebelum menjawab kegusaran itu, penting kiranya mendudukkan hal ini dalam lanskap yang lebih jernih. Agar tak meluber menjadi sebatas kasak kusuk wacana saja.
Dalam dialog wawasan kebangsaan yang digagas harian Rakyat Sulbar Selasa (28/1) lalu, berkembang berbagai hal aktual seputar ruang lingkup agama yang cenderung makin sempit lagi rigid. Daya tafsir terhadapnya dikerangkeng seketat mungkin, hingga tak ada lagi celah untuk membaca ayat-ayat Tuhan dalam dimensi lintas perspektif. Semuanya terpasung dalam kekakuan teks dan arti. Lalu menegasikan ruang makna yang lebih lentur.
Kepala Dinas Pemuda, Olah Raga, Pariwisata dan Kebudayaan Majene, Abdul Hamid menegaskan adanya potensi kekerasan atas nama agama itu. "Kami akui ada ancaman banyaknya kelompok radikal dan itu dari unsur pemuda," ujar Hamid, salah seorang narasumber dalam dialog yang digelar di ruang pola Kantor Bupati itu.
Dalam paparannya, mantan Kepala Dinas Pendidikan ini menyampaikan urgensi penanaman nilai berdimensi spiritual. Sehingga citra Islam di mata publik tak tercederai oleh ulah oknum atas nama agama. "Menurut saya, Citra Islam harus diluruskan kembali. Padahal tidak seperti itu ajaran keluhuran agama Islam," tambahnya.
Di hadapan peserta dialog, Hamid memberikan catatan akan pentingnya mendorong kaum muda untuk terus bergerak dalam cakrawala pengetahuan, agar tak terpasung pada pahaman yang tak berdasar.
Bupati Majene, Kalma Katta tampaknya tak ingin menampakkan kekagetan atas tudingan itu. Dirinya memilih langkah yang lebih strategis dengan mendorong agar kaum muda bergerak lebih kolektif. Bukan parsial.
"Kita butuh kebersamaan kepemudaan, dalam bentuk rencana aksi kepemudaan. Untuk itu, kita perlu Identifikasi kekerasan terhadap agama-agama," katanya.
Identifikasi ini diperlukan, apalagi ketika menengok progres Kabupaten Majene menuju Ibu Kota Pendidikan di Sulbar. Dalam artian, untuk menangkal potensi Radikalisme yang setiap saat mengancam ruang lingkup kehidupan kaum muda, diperlukan pola dan strategi yang tak hanya mendebat radikalisme. Tapi lebih penting, menjauhkan generasi dari segala bentuk jaringan radikal atas nama agama, sekaligus gerbong pengutuk para pemimpin di negeri ini.
Jika hari ini Majene disebut sebagai lapangan bebas para penanam ajaran Radikal, semestinya memang perlu rumusan yang lebih jelas agar tuduhan itu tak mewujud sebagai fakta yang tak terbendung.
Komentar