Langsung ke konten utama

Benturan Kesadaran Nasionalisme; Barat vs Timur

Catatan dari Dialog Kebangsaan di Topoyo Mamuju Tengah (3)

Dalam perspektif melihat dari bawah ini Benedict Anderson (1991) melihat nasionalisme sebagai sebuah ide atas komunitas yang dibayangkan, imagined communities. Dibayangkan karena setiap anggota dari suatu bangsa, bahkan bangsa yang terkecil sekalipun, tidak mengenal seluruh anggota dari bangsa tersebut. Nasionalisme hidup dari bayangan tentang komunitas yang senantiasa hadir di pikiran setiap anggota bangsa yang menjadi referensi identitas sosial.
 
Pandangan konstruktivis yang dianut Anderson menarik karena meletakkan nasionalisme sebagai sebuah hasil imajinasi kolektif dalam membangun batas antara kita dan mereka. Sebuah batas yang dikonstruksi secara budaya melalui kapitalisme percetakan, bukan semata-mata fabrikasi ideologis dari kelompok dominan.
 
Keunikan konsep Anderson dapat ditarik lebih jauh untuk menjelaskan kemunculan nasionalisme di negara-negara pasca kolonial. Bukan kebetulan jika konsep Anderson sebagian besar didasarkan pada pengamatan terhadap sejarah perkembangan nasionalisme di Indonesia. Namun, ada satu hal dalam karya seminal Anderson yang dapat menjadi subyek kritik orientalisme seperti yang ditengarai oleh Edward Said terhadap cara pandang ilmuwan Barat dalam merepresentasikan masyarakat non-Barat (lihat Simon Philpott, 2000).
 
Dalam bukunya, Imagined Communities, Anderson berargumen bahwa nasionalisme masyarakat pasca kolonial di Asia dan Afrika merupakan hasil emulasi dari apa yang telah disediakan oleh sejarah nasionalisme di Eropa. Para elite nasionalis di masyarakat pascakolonial hanya mengimpor bentuk modular nasionalisme bangsa Eropa. Di sini letak problematika dari pandangan Anderson karena menafikan proses-proses apropriasi dan imajinasi itu sendiri yang dilakukan oleh masyarakat pascakolonial dalam menciptakan bangunan nasionalisme yang berbeda dengan Eropa (Partha Chatterjee, 1993).
 
Kata Sulfikar Amir, Secara esensial nasionalisme masyarakat pasca kolonial dibentuk berdasarkan suatu difference sebagai bentuk resistensi terhadap dominasi kolonialisme. John Plamenatz (1976) membuat dikotomi antara nasionalisme Barat dan nasionalisme Timur. Kategorisasi ini mungkin kedengaran terlalu sederhana, walaupun Plamenatz cukup layak didengar.
 
Menurut Plamenatz, nasionalisme Barat bangkit dari reaksi masyarakat yang merasakan ketidaknyamanan budaya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat kapitalisme dan industrialisme. Namun, mereka beruntung karena budaya mereka memungkinkan untuk menciptakan sebuah kondisi yang dapat mengakomodasi standar-standar modernitas.
 
Sebaliknya, nasionalisme Timur lahir dalam masyarakat yang terobsesi akan apa yang telah dicapai oleh Barat. Tetapi secara budaya mereka tidak dilengkapi oleh pra kondisi-pra kondisi modernitas yang memadai. Karena itu, nasionalisme Timur, dalam hal ini masyarakat pasca kolonial, penuh dengan ambivalensi. Pada satu sisi, dia merupakan emulasi dari apa yang telah terjadi di Barat. Di sisi lain dia juga menolak dominasi Barat.
 
Partha Chatterjee mencoba memecahkan dilema nasionalisme antikolonialisme ini dengan memisahkan dunia materi dan dunia spirit yang membentuk institusi dan praktik sosial masyarakat pascakolonial. Dunia materi adalah "dunia luar" meliputi ekonomi, tata negara, serta sains dan teknologi. Dalam domain ini superioritas Barat harus diakui dan mau tidak mau harus dipelajari dan direplikasi oleh Timur.
 
Dunia spirit, pada sisi lain, adalah sebuah "dunia dalam" yang membawa tanda esensial dari identitas budaya. Semakin besar kemampuan Timur mengimitasi kemampuan Barat dalam dunia materi, semakin besar pula keharusan melestarikan perbedaan budaya spiritnya. Di domain spiritual inilah nasionalisme masyarakat pascakolonial mengklaim kedaulatan sepenuhnya terhadap pengaruh-pengaruh dari Barat.
 
Walaupun demikian, Chatterjee menambahkan bahwa dunia spirit tidaklah statis, melainkan terus mengalami transformasi karena lewat media ini masyarakat pasca kolonial dengan kreatif menghasilkan imajinasi tentang diri mereka yang berbeda dengan apa yang telah dibentuk oleh modernitas terhadap masyarakat Barat.
 
Hasil dari pendaulatan dunia spiritual ini membentuk sebuah kombinasi unik antara spiritualitas Timur dengan materialitas Barat yang mendorong masyarakat pasca kolonial memproklamasikan budaya modern mereka yang berbeda dari Barat.
 
Dikotomi antara dunia spirit dan dunia material seperti yang dijelaskan Chatterjee pada satu sisi mengikuti paradigma Cartesian tentang terpisahnya raga dan jiwa. Namun, di sisi lain ia menunjukkan bahwa penekanan dunia spirit dalam masyarakat pasca kolonial adalah bentuk respons mereka terhadap penganaktirian dunia spirit oleh peradaban Barat.
 
Karena itu, masyarakat pasca kolonial mencoba mengambil peluang tersebut untuk membangun sebuah jati diri yang autentik dan berakar pada apa yang telah mereka miliki jauh sebelumnya. Hasilnya berupa bangunan materi modernitas yang dibungkus oleh semangat spiritualitas Timur.
 
Implikasi strategi ini dalam bangunan nasionalisme pasca kolonial dapat dilihat dari upaya-upaya kaum elite nasionalis membangun sebuah ideologi nasionalisme yang memiliki kandungan spiritual yang tinggi sebagai representasi kekayaan budaya yang tidak dimiliki oleh peradaban Barat.
 
Argumen di atas menunjukkan bahwa nasionalisme Indonesia sebagai sebuah model nasionalisme masyarakat pasca kolonial jauh lebih kompleks dan ambivalen baik dari kategorisasi Plamenatz tentang nasionalisme Timur dan Barat maupun penjelasan Chatterjee tentang spiritualitas Timur sebagai satu-satunya wilayah di mana masyarakat pascakolonial mampu membangun autentitasnya.
 
Artinya, domain spiritual dalam nasionalisme Indonesia bagaimanapun diisi oleh elemen-elemen yang melekat erat pada dan lahir dari proses dialektis dengan kolonialisme. Mengklaim bahwa nasionalisme Indonesia berakar secara "alami" pada budaya lokal tidak memiliki landasan historis yang cukup kuat.
 
Dari sini kita bisa mengambil satu kesimpulan, yang tentunya masih dapat diperdebatkan, bahwa Indonesia baik sebagai konsep bangsa maupun ideologi nasionalisme yang menopangnya adalah produk kolonialisme yang sepenuhnya diilhami oleh semangat modernitas di mana budaya Barat menjadi sumber inspirasi utama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa