Langsung ke konten utama

Tak Perlu Tenar, Apalagi Merasa Paling Benar

Namanya Ajbar. Salah seorang anak muda berdarah mandar. Dengan gumpalan perlawanan idealisme yang tak kenal gentar. Sekujur tubuhnya dibalut oleh semangat jiwa yang tak mudah pudar. Mengenal Ajbar, sontak terdengar suara yang jarang datar. Tetap saja dengan retorikanya yang menggelegar. Saat berbincang bersama Rakyat Sulbar, Ajbar terkesan tak ingin sesumbar. Pun saat ditanya soal peluangnya maju sebagai wakil rakyat di DPRD Sulbar.

"Saya ini relatif awam soal strategi ya. Tapi lebih percaya pada warga yang selalu menaruh kepercayaan kepada saya," terang Ajbar.

Pria kelahiran 31 Desember 1977 ini lebih menyenangi pola 'blusukan' dari pada sekedar memajang baliho di setiap sudut wilayah. Alasannya sedehana. Pendekatan langsung ke akar rumput lebih sesuai dengan kondisi lokal di tanah mandar.

"Masyarakat kita jangan diasumsikan bahwa mereka selalu butuh materi atau finansial. Yang paling mereka harapkan agar wakil rakyat itu hadir di tengah-tengah mereka, mendengarkan langsung apa diinginkan. Makanya saya sangat percaya, masa depan demokrasi bakal makin membaik ketika itu diawali oleh perubahan mindset wakil rakyat maupun calon wakil rakyat. Bahwa tidak semua hal dapat diselesaikan dengan barter materi," jelasnya.

Pun ketika menyimak paparan dari gumpalan masalah yang dihadapi warga. Kata mantan aktivis HMI ini, prinsip keterbukaan perlu dibangun jika hendak menjadi politisi yang dipercaya masyarakat. Sehingga secara langsung maupun tidak, masyarakat pun akan bergeser respon politiknya ke arah yang lebih positif. Bahwa politik tak selamanya berurusan dengan kampanye maupun pemilihan. Apalagi sampai menyandingkan antara politik dan tipu muslihat.

Yang lebih urgen, Politik itu harus mengantar pada satu kesadaran kolektif. Bahwa politik itu mampu berpijak di atas nilai-nilai luhur dan kesucian. "Mendekati warga itu sederhana. Kita cukup iyakan kalau memang kita sanggupi. Dan kita jujur mengemukakan apa adanya kalau memang tidak disanggupi. Jangan memaksakan atau sekedar mengiyakan tanpa bukti yang meyakinkan," jelasnya.

Modal sosial ini, bagi Ajbar lebih penting dari sekedar mendesain strategi yang kerap menuai kecewa. Inilah yang disebut dengan komunikasi terbuka. Sebuah ikhtiar untuk membangun hubungan yang didasari oleh kesamaan, kesetaraan dan penghormatan.

Di benak Ajbar, bergerak ke lapisan terbawah mesti dilakukan sedemikian gencar. Tapi yang lebih besar, sesungguhnya ada pada gagasanya yang segar: Bahwa Seseorang Tak Perlu Tenar, Apalagi Merasa Paling Benar.

(Telah diterbitkan di Harian Rakyat Sulbar)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui