Langsung ke konten utama

Mengembalikan Wibawa Wakil Rakyat

MALU dan pilu. Saat menyaksikan perhelatan sidang paripurna DPRD Sulbar, silih berganti keanehan itu muncul dalam wujudnya yang amat nyata. Terbilang tak lazim, tapi itulah kenyataan yang_ hemat penulis_
terlampau menggelikan.

Betapa tidak, agenda pengesahan APBD-Perubahan, Jumat (15/11) malam, menjadi tonggak sejarah yang berulang-ulang akan ulah puluhan wakil rakyat yang makin tak sadar ruang. Dalil dan dalihnya bermacam-macam. Ada yang beralasan sedang dinas luar. Ada pula yang benar-benar tak punya alasan meyakinkan. Sungguh, kemalasan politisi itu tampak menganga di tengah puluhan kursi yang kosong melompong.

Ajaibnya, data absensi tak sepadan dengan apa yang terlihat di depan mata. Lebih ajaib lagi, keputusan itu ditetapkan dengan hanya dihadiri 26 anggota DPRD Sulbar dari total 45 orang. Kursi pimpinan pun hanya diisi seorang Muhammad Jayadi saja, sang politisi PAN itu. Sementara yang lain, entah kemana rimbanya.

Ini bukan urusan quorum atau tidaknya. Ini soal kemalasan. Fenomena kemalasan ini sesungguhnya bukan hal yang baru sekali terjadi. Potret yang tak menarik ini hampir terjadi setiap waktu. Tak salah jika kita
harus menuding kehadiran mereka itu, sangat ditentukan oleh mood masing-masing anggota dewan.

Tentu dalam konteks pendidikan politik, kejadian seperti ini dapat menjadi alat uji yang paling jitu untuk mengukur kinerja wakil rakyat selama ini. Apakah mereka memang benar-benar bekerja untuk kepentingan
rakyat, ataukah hanya sebatas kamuflase yang menipu di atas permukaan dan pencitraan?

Sekali lagi, ini tahun politik. Ada banyak stok calon wakil rakyat yang sedang giat-giatnya turun lapangan. Ada pendatang baru, ada pula pemain lama. Bagi pendatang baru, energi perubahan itu begitu deras.
Namun masih belum teruji kematangan dan komitmennya. Sementara pemain lama cukup berpengalaman, namun juga telah menyisakan borok yang terlampau mengecewakan.

Pilihan-pilihan ini penting diketahui banyak pihak. Agar pemilu 2014 tak ada lagi pemilihan ‘kucing dalam karung’, yang terjerat oleh transaksi serangan fajar ataupun bentuk penodaan misi politik itu sendiri. Artinya, kehadiran wakil-wakil rakyat itu perlu mendapatkan pelajaran keras, bahwa ada banyak tugas wajib yang kerap mereka lalaikan. Mulai dari kinerja kehadiran berkantor, hingga penuntasan janji politik yang
boleh jadi hingga akhir jabatannya tak pernah tertunaikan.

Sikap kritis publik sesungguhnya sangat ampuh utamanya dalam momentum tahun politik seperti sekarang ini. Di masa seperti inilah, rakyat dapat memberikan pembalasan yang setimpal dengan amuk kekecewaan tanpa
ampun. Silahkan menilai, silahkan memilih, dan silahkan menghentikan langkah politik bagi mereka yang terlampau malas menunaikan tugasnya sebagai wakil rakyat. Selamat datang pemilu 2014 !!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa