Catatan dari Rakorda MUI se-Sulawesi di Mamuju
Tugas Ulama itu tidaklah mudah. Tak hanya sebatas menjadi kekuatan legitimasi urusan ritual. Juga sebatas alat stempel halal haram semata. Tapi lebih jauh, Ulama punya tanggung jawab yang meniscayakan pembumian ajaran agama Islam yang menunjung tinggi nilai kasih sayang bagi semesta alam.
“Ulama itu bertanggung jawab untuk mendamaikan umat (Ishlah al-Ummah). Tugas ini sulit jika hanya dilakukan orang per orang. Kita perlu kekuatan bersama untuk menyelesaikan tanggung jawab keumatan (mas’uliyah ummatiyyah) dan tanggung jawab kebangsaan (mas’uliyah wathaniyyah),” kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH. Ma’ruf Amin kemarin di Hotel d’Maleo.
Kekuatan yang dimaksudkan adalah kekuatan pengetahuan dan pendalaman ajaran agama. Sebab disadari, munculnya berbagai paham menyimpang di tengah-tengah warga, disebabkan adanya sebaran ajaran agama yang tersaji secara tak sempurna. “Sehingga orang dengan mudah mengeluarkan pendapat tanpa disertai dengan ilmu,” tegas anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI ini.
Di samping itu, Ulama juga berkewajiban mewariskan generasi yang benar-benar paham dengan persoalan agama (al Mutafaqqihin fi al Din). Mengapa? Sebab ajaran agama mesti terwariskan dengan baik kepada generasi selanjutnya.
“Kita semua tahu bahwa jika seorang ulama meninggalkan dunia ini, maka dia pergi bersama ilmunya. Nah, kita ingin para Ulama yang meninggalkan dunia itu punya generasi yang mampu melanjutkan ajaran agama Islam,” tambahnya saat menutup Rakorda MUI wilayah VI Sulawesi.
Di tempat yang sama, hasil Rakorda merekomendasikan agar kelembagaan MUI dapat setara dengan lembaga-lembaga selevel KPK dan MK. Menurut anggota DPD RI, KH. Syibli Sahabuddin, salah satu kendala yang dihadapi MUI selama ini karena tidak dibarengi dengan kekuatan regulasi yang jelas. Baginya, jika dorongan ini serius diperjuangkan, ke depan, MUI akan menjadi lembaga yang punya wibawa tersendiri.
“Yang jelas saya menantang MUI untuk ikut serta mendorong RUU ke-MUI-an agar martabat keulamaan di Indonesia benar-benar dapat dihitung sebagai sebuah kekuatan tersendiri,” kata Syibli.
“Ulama itu bertanggung jawab untuk mendamaikan umat (Ishlah al-Ummah). Tugas ini sulit jika hanya dilakukan orang per orang. Kita perlu kekuatan bersama untuk menyelesaikan tanggung jawab keumatan (mas’uliyah ummatiyyah) dan tanggung jawab kebangsaan (mas’uliyah wathaniyyah),” kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH. Ma’ruf Amin kemarin di Hotel d’Maleo.
Kekuatan yang dimaksudkan adalah kekuatan pengetahuan dan pendalaman ajaran agama. Sebab disadari, munculnya berbagai paham menyimpang di tengah-tengah warga, disebabkan adanya sebaran ajaran agama yang tersaji secara tak sempurna. “Sehingga orang dengan mudah mengeluarkan pendapat tanpa disertai dengan ilmu,” tegas anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI ini.
Di samping itu, Ulama juga berkewajiban mewariskan generasi yang benar-benar paham dengan persoalan agama (al Mutafaqqihin fi al Din). Mengapa? Sebab ajaran agama mesti terwariskan dengan baik kepada generasi selanjutnya.
“Kita semua tahu bahwa jika seorang ulama meninggalkan dunia ini, maka dia pergi bersama ilmunya. Nah, kita ingin para Ulama yang meninggalkan dunia itu punya generasi yang mampu melanjutkan ajaran agama Islam,” tambahnya saat menutup Rakorda MUI wilayah VI Sulawesi.
Di tempat yang sama, hasil Rakorda merekomendasikan agar kelembagaan MUI dapat setara dengan lembaga-lembaga selevel KPK dan MK. Menurut anggota DPD RI, KH. Syibli Sahabuddin, salah satu kendala yang dihadapi MUI selama ini karena tidak dibarengi dengan kekuatan regulasi yang jelas. Baginya, jika dorongan ini serius diperjuangkan, ke depan, MUI akan menjadi lembaga yang punya wibawa tersendiri.
“Yang jelas saya menantang MUI untuk ikut serta mendorong RUU ke-MUI-an agar martabat keulamaan di Indonesia benar-benar dapat dihitung sebagai sebuah kekuatan tersendiri,” kata Syibli.
Komentar