Langsung ke konten utama

Jangan Ada Intimidasi Gaya Orde Baru !

Catatan di Balik Penolakan Proyek Pembangunan Embung Baruga Majene (5)  

Sisi lain dari rencana pembangunan Proyek Embung yang akan dikerjakan oleh PT. Indah Seratama di Lingkungan Baruga Barat tak kalah heroiknya. Pasalnya dalam beberapa kali pertemuan, pemerintah selalu datang lengkap dengan laskar bersenjata. 

Bagi warga Baruga, kehadiran aparat keamanan makin menunjukkan ada upaya penundukan dengan gaya militeristik. Persis dengan gaya orde baru. Tokoh Masyarakat Baruga, KH. Nur Husain mengaku keberatan dengan sikap pemerintah tersebut. Baginya, itu merupakan perilaku yang tak mencerminkan sikap mengayomi. “Ada apa ini? Kenapa selalu bawa-bawa aparat keamanan? Kok pemerintah kita ini terkesan memaksakan kehendak,” katanya kepada Rakyat Sulbar. 

Bahkan, menurut Abdul Mannan, salah seorang pemilik lahan yang akan terkena imbas Proyek itu membeberkan, dalam setiap aktivitas pembangunan Proyek itu, pelibatan aparat keamanan tak pernah absen. “Biasa kalau mereka datang selalu bawa Polisi. Saya juga tidak tahu kenapa tiba-tiba mereka datang langsung pasang patok. Padahal itu tanah kami, dan sebelumnya tidak ada sosialisasi,” cetusnya.
Dikisahkan, suatu ketika dalam sebuah perkumpulan warga Baruga, tiba-tiba sejumlah kendaraan datang berombongan, sembari diikuti dengan pengawalan tentara. “Waktu itu ada keluarga yang meninggal. Sesaat sebelum dimakamkan, tiba-tiba ada rombongan yang datang. Kita tidak tahu apakah mereka mengerti tata caranya masuk di kampung ini. Mereka itu datang dengan gaya yang sulit dimengerti. Karena selalu memainkan gas motornya hingga terdengar bising,” ungkap Awaluddin, anggota Forum Mansyarakat Baruga (FMB).
Ulah aparat keamanan ini turut melecut amarah warga. Mereka tak ingin diperlakukan sebagai warga yang ‘apa adanya’. Atau sebatas warga yang cukup diteror, lalu takluklah dia. Kata Najib, pola ini amat terasa pesannya untuk menakut-nakuti warga setempat. Ia menyebutnya sebagai intimidasi halus.
“Bahkan kami pernah didatangi polisi di Masjid. Katanya jangan dihalangi proyek ini, tidak usah ribut. Karena proyek ini harus dilaksanakan. Waduh, Masyarakat kan tidak bisa diperlakukan seperti itu,” ujar KH. Nur Husain, mantan Ketua DPRD Majene itu.
Ia mengingatkan, pola pendekatan kultural mestinya lebih dikedepankan tinimbang pola militeristik. Sebab hal itu justeru akan mencipatakan masalah baru, mengeruhkan persoalan yang sebenarnya.
”Dan ingat semakin dibuatkan kesan militeristik, orang Baruga itu pasti melawan. Apa sih ini Polisi dibawa-bawa terlibat di Proyek ini? Sampai saya katakan di depan Bupati, bahwa orang Baruga tidak akan pernah menentang pemerintah. Tapi juga tidak mau diperbodoh, apalagi dibodoh-bodohi. Jadi menurut saya, kalau tidak kelar persoalan ini, Bupati yang akan kena resikonya. Mudah-mudahan Bupati tidak tersandung secara hukum menjelang akhir masa jabatannya. Itu yang saya sayangkan,” tegas Sang Kiai ini.
Sementara itu, saat bertandang ke Pondok Pesantren Ihyaul Ulum DDI Baruga, tokoh masyarakat, Mukhtar Hadi berujar, yang perlu dikedepankan adalah dialog. Tak elok untuk membiarkan hal terus melebar alias memperuncing masalah. Sehingga yang diperlukan adanya opsi alternatif dari dua belah pihak. “Mungkin sebaiknya kita hadirkan opsi alternatif. Lengkap dengan alasan-alasannya. Jadi tidak muncul kesan ada yang mencoba memaksakan kehendak,” ucapnya.
Hal senada dikemukakan KH. Nasruddin Rahim. Menurutnya, pintu dialog harus tetap dikedepankan. Dialog yang baik katanya, mesti disertai dengan kesiapan untuk saling terbuka tentang apa yang sesungguhnya menjadi akar permasalahan ini. “Saya kira ini kan bukan pada aspek penolakan sebagai pokok permasalahannya,” katanya.
Sehingga, menurut KH. Nasruddin Rahim, pola intimidasi sangat jauh dari unsur-unsur kepatutan. Lebih ironis, jika yang melakukan itu dibekingi langsung oleh pemerintah. “Kita ini di Baruga kan tidak akan melawan pemerintah. Tapi tolong dipahami. Mungkin sikap diam kami sudah menjadi bagian dari ketidak setujuan kami sendiri. Itu saja. Mudah-mudahan dimengerti. Sebab tidak mungkin kami melakukan tindakan perlawanan dengan melepaskan etika dan kesantunan,” pesannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa