Langsung ke konten utama

Hukum Tegak Karena Ditegakkan

Catatan Dialog Penegakan Hukum di Tahun Politik (Bag II)


Kesuksesan pemilu 2014 bukan saja karena kuatnya ambisi partai politik menuntaskan perhelatan melelahkan ini. Tapi juga karena terpagari oleh tatatan dan kepastian hukum. Dia antara variabel kesuksesan berdemokrasi itu ada pada kepastian hukum. Baik bagi pemilih, parpol maupun penyelenggara pemilu. Ketiga elemen ini penting dilindungi sekaligus ditindak atas nama hukum.

Ketua KPU Sulbar, Usman Suhuriah berujar, Pemilu sehat ditandai dengan kepastian hukum. Mengapa demikian? "Jawabnya, karena ada kepentingan bersama untuk membangun rekayasa bahwa pemilu dan penegakan hukum itu penting," tegas pria bertubuh jangkung itu.

Sebaliknya, ketidakpastian hukum dalam konteks pemilu akan semakin membuka jaringan pemilih untuk mufakat tak lagi percaya dengan pemilu. Sekaligus makin apatis dengan stok caleg yang ditawarkan parpol.

Dalam penyelenggaraan pemilu pun rupanya masih mensyaratkan agar pemilih ikut serta mengawasi jalan proses penghitungan suara.

"Alasan normatifnya tentu untuk melakukan pengawasan atas sejumlah potensi pelanggaran di tingkat penghitungan suara. Sedang alasan subtantifnya, agar pemilih tak hanya datang memilih. Masyarakat juga mengawasi proses penghitungan suara," jelas Usman.

Sementara itu, Kasipidsus Kejari Mamuju, Salahuddin menyatakan, persoalan penegakan hukum di tahun politik memeng memerlukan pemikiran serius. Artinya, di atas rata-rata kelaziman dalam proses penegakan hukum lainnya. Bahkan ia dengan lantang menegaskan, akan lebih mawas diri melakukan kajian atas setiap laporan yang disodorkan kepadanya.

"Perlu kami sampaikan bahwa untuk menjernihkan posisi penegakan hukum di tahun politik, saya akan melakukan seleksi ektra ketat atas apa saja yang masuk sebagai laporan," kata Salahuddin.

Pilihan ini bagi Salahuddin, untuk menegaskan bahwa hukum tak boleh digoyang hanya karena adanya kepentingan politik tertentu. "Mengapa penegakan hukum perlu diseriusi di tahun politik, karena Pemilu bersentuhan dengan anggaran negara. Artinya, potensi penyelahgunaan anggaran itulah yang menjadi celah terbukanya tindakan melanggar hukum," kata Salahuddin

Kendati demikian, upaya penegakan hukum untuk sebuah penguatan demokrasi tetap saja membutuhkan energi kuat dari semua kalangan.

Kepada seluruh peserta yang hadir dalam Diskusi khas Rakyat Sulbar itu, Shalahuddin meminta keterlibatan LSM dan Pers agar turut menjadi organ yang konsen melakukan pengawasan pemilu, baik tahapan maupun penyelenggaranya. "Media dan LSM dibutuhkan kerja kerja monitoring untuk mengawasi masyarakat," harap Salahuddin.

Kepada KPU dan Bawaslu, ia meyarankan agar tak sembrono melakukan tafsir atas berbagai aturan yang ada. Sebab jika itu yang terjadi, publik akan semakin diresahkan seketika terdapat multitafsir atas satu aturan.

"Jangan KPU dan Bawaslu menafsirkan hukum sendiri-sendiri. Supaya masyarakat tercerahkan dan tidak menyalahkan salah satu penyelenggara," kata Salahuddin memberi petunjuk.

Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Tomakaka, Rahmat Idrus masih menganggap ada sisi keragu-raguan jika penegakan hukum dapat ditegakkan setegak mungkin di tahun politik. "Setidaknya ada dua alasan yang mendasari. Petama, karena hukum tak sepenuhnya lepas dari kendali politik. Kedua, agenda penegakan hukum kita dipaksa berkonsentrasi pada potensi pelanggaran pemilu dan juga berbagai pelanggaran yang tak punya keterkaitan langsung dengan pemilu," ungkap Rahmat.

Karena itu, bagi Direktur LBH Mamuju, penataan ulang atas alas kesadaran Caleg, penyelenggara pemilu, maupun masyarakat adalah tiga komponen yang mendesak untuk dibenahi. Sama persis dengan ucapan Muhammad Yunus, bahwa keruntuhan demokrasi ada di depan mata disebabkan ulah sekelompok pihak yang bertemu dan mufakat untuk melazimkan pelanggaran hukum.

Pertanyaannya, sampai kapan wajah hukum dan politik dapat didudukkan secara proporsional? Atau lebih, tegas sampai kapan penegakan hukum itu benar-benar tegak?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa