Langsung ke konten utama

Belajar Kerukunan dari Salupangkang

Bangsa Indonesia patut berbangga. Aneka ragam Suku, Agama, Ras dan Adat-istiadat tumbuh dalam setiap komunitas warga dari Sabang sampai Merauke. Ragam ini diikat dalam berbagai pesan simbolik lagi padat nilai kearifan. Tak keliru jika Indonesia menjadi kiblat kerukunan bangsa-bangsa lain.

Tengoklah lebih dekat untuk membuktikan kebanggaan itu. Di Desa Salupangkang, Topoyo Kabupaten Mamuju Tengah, dapat disebut sebagai miniatur harmoni kehidupan umat beragama. Ada Islam, Kristen, Hindu dan agama lainnya dengan berbagai latar belakang budaya.

Di sini, nuansa kerukunan itu amat terasa. Wajar saja, jika istilah konflik horizontal telah disepakati sebagai kemustahilan di tengah-tengah kehidupan mereka. Desa yang dipadati penduduk transmigran dari berbagai penjuru Nusantara ini tampak sangat menjunjung tinggi nilai-nilai dan kearifan lokal masing-masing.

"Kami di sini sangat merawat pesan-pesan yang kami bawa dari kampung kami," kata salah seorang tokoh masyarakat berdarah Bali, Made Suardana.

Upaya menjaga harmoni itu jelas bukan taken granted. Di sana-sini kerap muncul juga percik-percik perselisihan. Tapi itu masih dalam takaran yang terkendali. Pendekatan keamanan dan stabilitas bukanlah jurus utama warga Salupangkang.

"Yang kami utamakan di sini adalah saling merekatkan unsur-unsur titik temu agama dan budaya," jelas pria yang akrab disapa Kade itu.

Dicontohkan, dalam setiap perhelatan, sejumlah tari-tarian dipertontonkan. Ada pula yang dicipta dalam kolaborasi antar budaya. "Kami di sini mayoritas gabungan warga Bali dan Jawa. Jadi yang muncul lebih banyak adalah jejak-jejak budaya berupa Tari Barong dari Bali yang dipadukan dengan Tari Panyang Brahmu atau Tari Penyambutan. Kalau dari Jawa itu Tarian Garuda, diiringi musik gendang kempul," tuturnya.

Baginya, pendekatan agama dan budaya jauh lebih kental nuansanya daripada sekedar mengejar predikat sebagai kampung paling aman. "Yang jelas untuk menjaga semua yang kami impikan, peran tokoh-tokoh agama dan budaya sangat kami kedepankan," terangnya.

Kata Made, peran tokoh agama dan budaya punya posisi penting. Ketokohan mereka menjadi cermin umat lainnya. Jika ada percikan perselisihan, mereka yang ditokohkan langsung bergegas bertindak sebagai sang juru damai.

Dalam konteks menebarkan kebaikan, rupanya tak diukur dari jenis agama yang dianutnya. Melainkan sejauhmana kekuatannya untuk bertahan sebagai pemberi manfaat bagi yang lain.

Di sinilah sisi uniknya. Karena tak sedang mengupayakan titik-titik temu atas setiap perbedaan. Sebaliknya mereka menegaskan perbedaan itu. Setiap penganut agama berkewajiban menampakkan spirit transendentalnya lewat terjemahan imanen. Bagi yang berlaku luhur, itu pertanda penganut agama yang memuliakan keyakinannya. Sebaliknya, bagi pelaku nista, juga mencerminkan takaran atas makna dari agama yang diyakininya.

Secara turun-temurun, mereka teguh dalam kehidupan yang saling berbagi. Serta tak mewariskan kecurigaan antar sesama. Bagi Kade, interaksi budaya dalam harmoni kerukunan itulah yang hingga kini dinisbahkan dalam kepentingan bersama. Tak muluk-muluk dalam kenisbian defenisi tentang makna kerukunan. Wal hasil, dari Salupangkang, kerukunan itu diajarkan sedemikian mudah dan sederhana. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui