Langsung ke konten utama

Bergerak dari Rumah Tuhan Menuju Kursi Wakil Rakyat

Zainal Abidin. Calon anggota DPRD Sulbar daerah pemilihan (dapil) Tiga. Pria berjenggot ini punya kekhasan tersendiri. Lain dari karakter politisi lainnya. Sejak terjun ke dunia politik praktis, ia konsisten di Partai Dakwah, Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Ada banyak sisi menarik dari pribadi beliau. Sehari-harinya tak hanya sibuk dengan tumpukan agenda politik. Tapi juga harus menjadi pelayan umat lewat aktivitasnya sebagai seorang da'i. Dua jenis kesibukan ini dilakoninya dalam durasi puluhan tahun lamanya, tanpa digusarkan oleh polemik yang mempertentangkan antara gerakan dakwah dan gerakan politik. Bagi Zainal, tak ada kontradiksi antar keduanya. Politik dan Dakwah merupakan dua hal yang menyatu dalam tekad yang sama; kemaslahatan umat.

Mulanya, pria kelahiran Polmas, 25 Februari 1969 silam merupakan aktivis 'Rumah Tuhan'. Di dekat rumahnya di Wonomulyo, Polewali Mandar, ia mulai menempa potensi dirinya sebagai kader Remaja Masjid Merdeka. Pun ketika di Jakarta, juga sempat aktif sebagai Kader Remaja Islam Sunda Kelapa.

Dari sisi riwayat pendidikan, Ayah beranak lima ini tak pernah lepas dari nafas pendidikan agama. Wajar saja, saat berbincang dengannya, petuah bernuansa agama begitu kental terdengar. Lengkap dengan dalil aqli maupun naqli-nya. Sejak tahun 1982, Zainal sudah mulai duduk di bangku madrasah Ibtidaiyah As'adiyah Wonomulyo. Setelah tamat, ia melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke kota Anging Mammiri, Makassar. Di sana ia menyandang predikat sebagai santri SMP dan SMA Pondok Pesantren Modern IMMIM hingga tahun 1988. Kemudian bertolak ke Jakarta untuk memperdalam ilmu-ilmu keislaman di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta. Sebuah perpanjangan tangan dari Universitas Muhammad Ibnu Saud di Riyadh. Dari sinilah Zainal Abidin meraih gelar akademik LC.

Melihat kegigihannya dalam menggali ilmu-ilmu agama, Zainal pun tak menyia-nyiakan diri untuk menebar pesan Tuhan di berbagai pelosok. Dari hari ke hari, dirinya makin disibukkan oleh aktivitas dakwah dari kampus ke kampung. Bahkan sejumlah tawaran untuk menjadi seorang pengajar bahasa Arab datang dari berbagai penjuru. Di LIPIA sendiri ia sempat mengajar di tahun 1993. Di tahun yang sama, juga mengajar di Yayasan Pusat Studi Islam Al Manar Jakarta. Namun, rupanya Zainal punya pilihan lain. Ia memilih jalur politik.

Di sinilah titik balik kehidupannya yang dahulu beranjak dari pergerakan Takmir Masjid. Zainal akhirnya memantapkan diri melaju di jalur parlemen. Usaha Zainal tampaknya ingin menjawab agenda pemisahan agama dan politik. Sementara baginya, kedua hal tersebut tak boleh dipisahkan. Dengan argumentasi khas PKS, Zainal mengemukakan: "Bergerak di lingkar politik juga merupakan bagian dari agenda dakwah".

"Politik salah satu medan amal kebajikan. Sama dengan medan-medan amal kebajikan lainnya. Seperti ekonomi dan sosial. Tapi gerakan politik merupakan puncak dari semua medan amal. Karena dari politik lahir kebijakan ekonomi, sosial dan hukum. Karena itu, agama_ khususnya Islam_, menjadikan politik bagian dari ajarannya. Kalau kita lihat buku-buku fiqhi klasik yang ditulis oleh para ulama' terdahulu, maka kita temukan dalam isi tulisan mereka tentang Fiqhi Siasah (fiqhi politik) dan Fiqhud Daulah (fiqhi negara)," jelasnya.

Memperjuangkan perpaduan Agama dan Politik dalam cangkang yang saling terkait sungguh bukan hal mudah. Apalagi dimudah-mudahkan. Tantangannya cukup banyak. Dalam ilmu filsafat disebut dilema moral. Yakni pertarungan antara apa yang semestinya dilakukan dengan yang harus diakui sebagai sebuah kenyataan duniawi.

"Seseorang atau satu kelompok yang berpolitik memiliki tujuan mulia sejak awal. Yaitu menebar keadilan dan kesejahteraan untuk khalayak banyak. Tapi boleh jadi ada yang berpolitik untuk kepentingan pribadi, keluarga dan golongannya. Sehingga hanya bisa berbuat adil dan mensejahterkan dirinya, keluarga dan golongannya, tidak atau bukan untuk rakyat semuanya. Di sinilah kadang politik mewujud dalam rupa yang begitu kotor," akunya sembari merefleksikan betapa pentingnya seorang politisi memiliki qudwah (panutan) yang tepat serta pendirian yang Istiqamah.

Tapi dari sanalah tantangan berat menjadi seorang penggerak Dakwah untuk membenamkan misinya ke lingkar politik. Zainal memiliki prototipe yang mengandalkan niat baik. "Adapun proses nantinya, sangat tergantung pada situasi dan kondisi. Karena itu Islam tidak memandang proses itu sebagai praktik kotor. Tetapi menganggapnya sebagai jihad. Sehingga, harta yang dibelanjakan dan nyawa yang dipertaruhkan akan mendapatkan pahala jika itu tujuan berpolitiknya bersih dan mulia," tandasnya.

Komitmen niat baik rupanya bukan isapan jempol semata. Sejak duduk sebagai anggota DPRD, ia telah banyak ikut andil baik dalam pengambilan keputusan. Lebih hebatnya lagi, Zainal tak lupa pada rakyat sebagai sebab duduknya di kursi empuk wakil rakyat. Zainal pernah terlibat langsung dalam memperjuangkan lahirnya Perda tentang pembentukan BAKORLUH. Dimana badan ini sangat diperlukan untuk menyatukan, mengkoordinasikan dan konsolidasi program pemprov di bidang pertanian, peternakan, perkebunan, kehutanan perikanan dan kelautan.

Juga ikut berjuang dan terlibat aktif atas lahirnya Perda Sistem Perlindungan Anak (SPA) yang mewajibkan semua komponen masyarakat terlibat dalam melindungi generasi bangsa dari segala bentuk kekerasan dan kedzaliman.

"Alhamdulillah selalu terlibat dalam mengadvokasi anggaran. Agar anggaran berbasis pada kebutuhan rakyat. Di antaranya yang sudah diperjuangkan: Bantuan langsung kepada para pelaku ekonomi kerakyatan baik dalam bentuk dana maupun natura yang bersumber dari APBD. Misalnya kelompok usaha bersama, kelompok tani, kelompok nelayan dan koperasi," jelasnya.

Begitu juga pada program infrastruktur. Zainal telah mengadvokasi anggaran bagi pembangunan jalan-jalan Provinsi. Seperti ruas Polewali-Mamasa, ruas Wonomulyo-Keppe dan ruas Luyo-Tubbi Taramanu (Tutar).

Jikapun masih dipercaya memikul amanah sebagai wakil rakyat, Zainal tak ingin beranjak jauh. Dirinya tetap masih kukuh menyuarakan pembangunan jalan dan ekonomi kerakyatan. "Selebihnya, saya serahkan pada rakyat, biarkan mereka tampil merdeka untuk mendaulat siapa wakilnya di legislatif," pungkasnya.

Data Diri:Nama: Zainal Abidin, LC
Lahir di Polmas, 25 Feb 1969
Isteri: Khadijah Abdullah
Anak: Mus'ab; Abdul Rahman; Atikah; Shafiyah dan Ali.

Pendidikan:
Madrasah Ibtidiyah As'adiyah Wonomulyo, tamat 82;
SMP dan SMA Pesantren Modern IMMIM Makassar, tamat 1988;
Kuliah di Lembaga Ilmu Pengentahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta,
cabang Universitas Muhammad Ibnu Saud di Riyadh, D4 pendidikan guru
bahasa Arab, tamat 1992.
Organisasi:
1. Kader Remaja Masjid Merdeka Wonomulyo
2. Kader IPNU (Ikatan Putra Nahdatul Ulama) Makassar
3. Kader Remaja Islam Sunda Kelapa Jakarta
4. Kader dan Pengurus PKS DPP bidang Kaderisasi (1998-2004)
5. Ketua DPW PKS Sulbar Bidang Pembinaan Kader (2004-2009
6. Ketua Majelis Pertimbangan Wilayah PKS Sulbar (2010-2015)
Pekerjaan:
1. Guru bantu Bahasa Arab di LIPIA Jakarta 1993
2. Guru Bahasa Arab pada Yayasan Pusat Studi Islam ALMANAR Jakarta 1993-2004
5. Anggota DPRD Sulbar 2009-2014
4. Anggota dan Wakil Ketua DPRD Sulbar 2005-2009
Aktivitas Sosial
1. Ketua Umum Pengurus Masjid Merdeka Wonomulyo (2010-2013)
2. Ketua Umum Pengurus Yayasan As'adiyah Wonomulyo 2009-2014
Luar Negeri
Kerajaan Arab Saudi (1997, 2007 dan 2011); Kuwait (2003); Singapore
(2009); Malaysia (2009); Thailand (2009) dan China (2010)


(Telah diterbitkan di Harian Rakyat Sulbar)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui