Langsung ke konten utama

Menggugat Dugaan Kecurangan Pemilu

Catatan dari Diskusi Lintas Partai dan Organisasi Pro Demokrasi 
Jika pemilu 2009 lalu dianggap amburadul, justeru pemilu tahun 2014 ini jauh lebih kacau balau. Disinyalir, kekacauan itu berlangsung terencana serta massif. Hingga nyaris tak ada celah yang dapat dilakukan untuk meninjau ulang berbagai modus pelanggaran yang terjadi.

Demikianlah asumsi ini terbangun dalam benak sejumlah peserta diskusi lintas Partai dan Organisasi Pro Demokrasi yang berlangsung di Warkop Paceko, Mamuju, Sabtu (19/04) lalu. Dari sejumlah calon anggota legilatif yang hadir, semuanya bertemu alur pikir pada argumen yang sama; bahwa pemilu kali ini benar-benar dipadati oleh beragam kecurangan yang terstruktur.

Lalu Syamsul Rijal, caleg dari Partai Gerindra mengutarakan, sejak awal indikasi kecurangan itu telah terpajang rapi di depan mata. "Bapak bisa bayangkan, hampir semua petugas PPS itu kan PNS. Ya anda taulah bagaimana birokrasi itu dijalankan," ujarnya dalam diskusi yang dipandu Ketua Dewan Kebudayaan Mandar, Muhamin Faisal itu.

Secara administratif kepemiluan, hingga kini sulit dibuktikan bahwa formulir C1 yang menjadi pegangan masing-masing partai politik benar-benar dapat dijadikan sebagai dasar perolehan suara sebenarnya. "Kita ini tidak diberikan formulir format C1," tegasnya dengan nada meninggi.

Belum lagi dengan adanya dugaan penggelembungan suara, baik di Ahuni, di Kasambang maupun di beberapa tempat lainnya. Hal itu dibenarkan oleh caleg PKB, Amran HB. Baginya, apa yang terjadi dalam setiap tahapan pemilu kali ini benar-benar merupakan bentuk penganiayaan terhadap demokrasi. "Perlu anda ingat, kezaliman yang terstruktur akan mengalahkan kebaikan yang tidak terstruktur," tegasnya.

Sehingga dirinya mengajak semua komponen untuk benar-benar serius dengan persoalan dugaan kecurangan ini. Bila perlu, katanya, pemilu ini harus dihentikan. Hal pertama yang harus diupayakan adalah mendesak agar KPU segera memperlihatkan form C1 berhologram kepada seluruh Partai Politik. "Ini yang perlu kita desakkan ke KPU. Kalau mereka tidak mau, paksakan supaya pemilu ini diulang," gugatnya.

Sementara itu, caleg PKPI, Pdt. Kalvin Kalambo menuturkan, pemilu kali ini memang mendesak untuk dibatalkan seluruh tahapannya. kendati KPU memiliki jadwal yang telah ditentukan, katanya, hanya dapat berlaku jika semuanya berjalan normal. "Tapi ini kan tidak normal kondisinya. Jadi kekuatan kita saat ini sebenanrya hanya satu. Yaitu kita harus Kompak untuk menyatakan bahwa pemilu 9 april lalu cacat hukum," tegas Kalvin. Dengan penegasan itu, diperlukan energi yang sama menggelar aksi tindak lanjut. "Pokoknya hentikan proses pemilu ini," desaknya.

Ketua KPU Sulbar, Usman Suhuriah menanggapi bahwa seluruh penyelenggara memiliki pijakan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. “Jika ada yang terbukti curang, kami akan seret ke meja hijau,” jawab Usman, kemarin.

Ia menggaransi bahwa pihaknya takkan pernah melindungi apalagi memberikan toleransi kepada seluruh penyelenggara yang terbukti melakukan pelanggaran pemilu. “Jadi bukan sekedar asumsi saja. Kalau ada yang dianggap merugikan Partai Politik silahkan mengajukan keberatan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan,” tandasnya.

Hingga akhir diskusi itu, belum diperoleh langkah konkrit untuk melakukan ‘perlawanan’ kepada penyelenggara pemilu, jika memang dianggap tak cakap dalam melaksanakan tugasnya. Boleh jadi, ini hanyalah kekecewaan yang terakumulasi dalam rasa yang sama. Sesudah itu, seluruhnya hanya menjadi mimpi buruk setelah melihat perolehan suara yang kian tak menggembirakan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa