Langsung ke konten utama

Bawaslu Jangan Hanya Menunggu Bola

Catatan dari Rakor Pengawas Pemilu 2014 se-Sulbar (I)

Pemilu 9 April 2014 kian dekat menghampiri kita. Momentum ini telah menjadi perhatian publik yang terangkum dalam kesimpulan bersama. Bahwa tahun ini layak disebut tahun politik. Di mata Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulbar, kualitas pemilu merupakan taruhan yang begitu mahal harganya. Sementara nyaris dipastikan, proses penyelenggaraan pemilu mustahil lepas dari lingkaran pelanggaran.
 
"Pemilu yang berkualitas itu bukan berarti lepas seutuhnya dari pelanggaran apa saja. Sehingga kami menyimpulkan bahwa sebenarnya di Sulbar ini, semua wilayah adalah rawan sengketa pemilu," ujar pimpinan Bawaslu Sulbar, Muhammad Saleh saat tampil berbicara pada Rapat Koordinasi Pengawas Pemilu 2014 se Sulbar di Hotel d'Maleo, 23-25 Februari 2014 lalu.
 
Motif paling mendasar, dikarenakan seluruh jenis-jenis pelanggaran pemilu tercipta dari beragam praktik yang telah lama direncanakan. Lalu disebutlah sebagai kejahatan pemilu yang terencana. Artinya, jika kejahatan ini massif lalu disambut dengan sikap yang serba permisif, dapat dipastikan pemilu tak ubahnya sebagai pesta perjudian akbar sepanjang peradaban umat manusia.
 
Landasan pikir Bawaslu sebetulnya telah berada di titik yang sangat bijak. Bahwa paradigma penegakan hukum lebih layak menggunakan sisi pencegahan tinimbang penegakan. Itu berarti, perlu adanya mekanisme baku untuk tak seperti sang gadis yang sekedar menantikan jodohnya tampak di sore hari. Tegasnya, Bawaslu mesti bertenaga untuk bergerak maju, menghampiri bahkan memburu seluruh simpul-simpul yang berpotensi merobek martabat demokrasi.
 
Dengan paradigma ini pula, publik berhak menagih kinerja bawaslu maupun panwas kabupaten agar tak melulu menunggu laporan publik. Apalagi jika hanya menggerutu dalam lamunan kekesalan yang berjalan di tempat. Namun yang lebih dipentingkan adalah sikap proaktif dengan segala sumberdaya yang dimilikinya.
 
Di titik inilah, tawaran pengawasan partisipatif itu diperlukan kehadirannya. Muhammad Yunus, yang menjadi awak pada Divisi Pengawasan dan Hubungan antar Lembaga Bawaslu Sulbar mengatakan, esensi pengawasan itu ada pada upaya bersama untuk mengawal hingga memastikan proses pemenuhan hak-hak politik warga negara sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam hal kedaulatan.
 
Dikatakan, di antara tugas-tugas pengawasan itu adalah aktivitas mengamati, mengkaji, memeriksa dan menilai proses penyelenggaraan pemilu sesuai peraturan perundang-undangan. Pertanyaannya, bilakah hal itu dapat berjalan dengan sedemikian apiknya? Belum tentu. "Karena masyarakat sekarang makin gandrung menjadi subjek dari pasar politik uang. Beberapa kali kami temukan di lapangan pelanggaran dalam bentuk politik uang. Tapi susah karena masyarakat tidak lagi hanya menerima, tapi juga sudah menjadikan syarat utama kalau caleg mau dipilih," kata Yunus.
 
Sehingga menurutnya, pelibatan stakeholder warga urgen dilakukan. Bagi publik, sikap proaktif untuk melaporkan apa saja yang masuk dalam kategori pelanggaran pemilu. Dari sinilah, bawaslu dapat bergerak beriringan bersama kekuatan kontrol sosial di luar sistem. Di sini jugalah, Bawaslu makin dituntut untuk menunjukkan keberaniannya tanpa tebang pilih. Bila nyali itu tak tampak, institusi ini bakal terpasung pada tembok sejarah politik bangsa sebagai lembaga yang patut ditinjau ulang kehadirannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa