Anas Urbaningrum kini telah ditahan sebagai tersangka atas kasus dugaan gratifikasi Wisma Hambalang. Seluruh media pun menyorotnya. Sebab dalam setiap pernyataan Anas, sering terungkap kalimat bersayap. Bahkan sesekali memunculkan argumen yang tak cukup jika dipahami seadanya. Kalimat-kalimat yang dilontarkannya sekali waktu harus diterjemahkan dalam logika terbalik.
Sikap mantan ketua umum Partai Demokrat ini bagi sejumlah pengamat dianggap sebagai karakter khas-nya dalam merespon segala hal. Dalam dirinya tersimpan watak politisi yang membuatnya harus melihat sekeliling kehidupan dengan kacamata politik pula. Bukan mengagetkan jika penahanan Anas pun diterjemahkan sebagai praktik politik kaum elit.
Inilah fenomena penegakan hukum di Indonesia. Kadang terasa sangat keras, kadang pula terlampau lemah akibat tekanan kepentingan kelompok tertentu. Upaya ke arah penegakan, terasa begitu rumpang. Sebab pertimbangan sosio-politik tak serta merta lepas dari keputusan hukum.
Penegakan hukum di tahun politik menjadi menarik dipertimbangkan sekaligus diperbincangkan. Argumen ini sesungguhnya hendak menantang para penegak hukum untuk benar-benar berani mengambil sikap yang jelas, tanpa kontaminasi kekuatan politik tertentu. Itu berarti penanganan kasus hukum tak mesti menunggu usainya perhelatan pemilu 2014.
Di Sulawesi Barat, kinerja penegak hukum masih terasa belum menunjukkan daya cengkram dengan baik. Bahkan kerap mengundang curiga di saat proses hukum sedemikian cepat dituntaskan bagi golongan miskin papa. Sementara mereka yang punya kuasa, kendati tersangkut hukum, tetap saja dilonggarkan ruang geraknya. Tak hanya itu, kacamata hukum aparat kita kerap seketika rabun walau dengan alasan pembenaran yang sulit diterima akal sehat.
Kasus narkoba yang membelit sejumlah oknum kepolisian, mobiler rumah jabatan Gubernur dan pembangunan Gedung Kesenian di Simboro merupakan tantangan tersendiri bagi para penegak hukum. Adalah hal yang terlampau awam jika kasus di atas dianggap suci dari cengkeraman hukum kita. Terkecuali jika semuanya telah dikompromikan dengan seribu satu macam cara dan upaya pembungkaman.
Terhadap tiga hal di atas, publik sesungguhnya sedang menanti sekaligus menantang para penegak hukum, apakah mereka masih punya nyali bergerak tanpa todongan kepentingan, ataukah telah takluk dalam sandera kuasa yang membuatnya makin tak memiliki martabat dan kehormatan apapun.
Kepada para aktivis yang selama ini fokus pada kasus Narkoba dan Korupsi, penegakan hukum di tahun politik makin menegaskan bahwa para penegak hukum di Sulbar mesti didesak sedemikian rupa agar tak mati kutu dengan silaunya iming-iming kenikmatan.
Sebab hal itu sungguh-sungguh tak nyaman diutarakan, lebih tak nyaman lagi jika di kemudian hari terungkap bahwa kasus hukum dihentikan seketika karena ada kuasa yang melindunginya. Atau karena kita sedang bersiap-siap menyambut pemilu 2014.
Sikap mantan ketua umum Partai Demokrat ini bagi sejumlah pengamat dianggap sebagai karakter khas-nya dalam merespon segala hal. Dalam dirinya tersimpan watak politisi yang membuatnya harus melihat sekeliling kehidupan dengan kacamata politik pula. Bukan mengagetkan jika penahanan Anas pun diterjemahkan sebagai praktik politik kaum elit.
Inilah fenomena penegakan hukum di Indonesia. Kadang terasa sangat keras, kadang pula terlampau lemah akibat tekanan kepentingan kelompok tertentu. Upaya ke arah penegakan, terasa begitu rumpang. Sebab pertimbangan sosio-politik tak serta merta lepas dari keputusan hukum.
Penegakan hukum di tahun politik menjadi menarik dipertimbangkan sekaligus diperbincangkan. Argumen ini sesungguhnya hendak menantang para penegak hukum untuk benar-benar berani mengambil sikap yang jelas, tanpa kontaminasi kekuatan politik tertentu. Itu berarti penanganan kasus hukum tak mesti menunggu usainya perhelatan pemilu 2014.
Di Sulawesi Barat, kinerja penegak hukum masih terasa belum menunjukkan daya cengkram dengan baik. Bahkan kerap mengundang curiga di saat proses hukum sedemikian cepat dituntaskan bagi golongan miskin papa. Sementara mereka yang punya kuasa, kendati tersangkut hukum, tetap saja dilonggarkan ruang geraknya. Tak hanya itu, kacamata hukum aparat kita kerap seketika rabun walau dengan alasan pembenaran yang sulit diterima akal sehat.
Kasus narkoba yang membelit sejumlah oknum kepolisian, mobiler rumah jabatan Gubernur dan pembangunan Gedung Kesenian di Simboro merupakan tantangan tersendiri bagi para penegak hukum. Adalah hal yang terlampau awam jika kasus di atas dianggap suci dari cengkeraman hukum kita. Terkecuali jika semuanya telah dikompromikan dengan seribu satu macam cara dan upaya pembungkaman.
Terhadap tiga hal di atas, publik sesungguhnya sedang menanti sekaligus menantang para penegak hukum, apakah mereka masih punya nyali bergerak tanpa todongan kepentingan, ataukah telah takluk dalam sandera kuasa yang membuatnya makin tak memiliki martabat dan kehormatan apapun.
Kepada para aktivis yang selama ini fokus pada kasus Narkoba dan Korupsi, penegakan hukum di tahun politik makin menegaskan bahwa para penegak hukum di Sulbar mesti didesak sedemikian rupa agar tak mati kutu dengan silaunya iming-iming kenikmatan.
Sebab hal itu sungguh-sungguh tak nyaman diutarakan, lebih tak nyaman lagi jika di kemudian hari terungkap bahwa kasus hukum dihentikan seketika karena ada kuasa yang melindunginya. Atau karena kita sedang bersiap-siap menyambut pemilu 2014.
(Telah diterbitkan di Harian Rakyat Sulbar)
Komentar