Langsung ke konten utama

Selamat Menunaikan Kampanye

Babak kampanye Partai Politik pemilu 2014 dimulai hari ini. Seluruh Partai Politik diberi ruang dan porsi yang sama untuk saling menebarkan janji ke hadapan publik.

Mereka bergerak dalam nafas dan semangat ingin memenangkan pertarungan politik sekaligus sebagai pemegang mandat terbanyak dari rakyat. Seluruh janji politik ditumpahkan pada setiap khalayak penyimak kampanye. Lalu tercetuslah dua respon yang berbeda; ada yang menerima, ada pula yang jengah akibat janji yang kerap tak kunjung mewujud itu.

Sisi lain pemilu 2014 ini juga akan menampilkan pola kampanye yang sedikit berciri khas. Rupanya model mobilisasi massa, aksi panggung, nyanyi bareng artis ibu kota hingga seruan monolog bakal mengalami masa senja alias tak lagi menjadi model yang diandalkan.

Saat ini, gerakan blusukan yang mula-mula dicetuskan sang Capres PDIP, Joko Widodo telah menjadi tren yang tak terbantahkan di benak publik. Model ini memiliki sisi keterkaitan serta kedekatan antara sang calon anggota legislatif dengan warga yang disambanginya.

Kendati demikian, bukan berarti pesan politik itu bakal sampai dalam takaran yang semestinya. Bahkan sebaliknya boleh jadi masih tetap menunjukkan peristiwa-peristiwa simbolik, ambigu serta kalimat-kalimat yang sulit ditebak kejelasannya.

Konsep utuh, gagasan mantap serta komitmen hanya sekali berjanji adalah modal utama bagi setiap kontestan dalam menyapa warga. Dibutuhkan nyali personal para caleg untuk tampil menerima pengadilan rakyat yang kerap dibarengi dengan kata-kata serba tak mengenakkan. Meski pengadilan itu disebabkan oleh ulah politisi dalam periode yang jelas berbeda dengan tampilan caleg masa kini.

Itu berarti dalam masa kampanye, seluruh caleg mengharuskan diri masing-masing untuk benar-benar melewati fase mendebarkan hingga masuknya babak inti 9 April mendatang.

Tak cukup jika hanya datang dengan polesan pencitraan dengan gumpalan ragam kepalsuan di balik layar. Karena yang lebih penting adalah kesungguhan jiwa yang terpancar dalam aura interaksi dua belah pihak. Model komunikasi politik yang tak bertirai ini menandai masuknya babak baru dalam berkampanye.

Selanjutnya, masa kampanye ini mestilah disimak dalam hamparan curah gagasan. Kekesalan publik setiap hajatan pemilu sebaiknya menyadarkan seluruh aktor politik untuk berani menggeser habitat para politisi pembual sejauh mungkin. Sebab dalam titik sublim kemanusiaan, siapa pun takkan pernah merelakan dirinya jumawa dalam ketidaktulusan.

Maka berkampanyelah dengan cerdas lagi santun. Tak mesti ikut gusar apalagi menganggap partai sendiri sebagai organ politik super suci. Karena yang lebih penting adalah komitmen moral politik untuk menegaskan janji di masa kampanye, lalu menegakkannya setelah sukses meraih mandat sebagai wakil rakyat. Selamat menunaikan kampanye.

(Telah diterbitkan di Harian Rakyat Sulbar)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa