Catatan Dari Diksusi Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) (II-Selesai)
Bicara pada aspek kebebesan sipil, tampilan demokrasi di Sulawesi Barat cukup menggembirakan. Pasalnya, selama tahun 2013 tak ditemukan satu pun peristiwa maupun dokumen yang mengarah kepada potensi perusakan demokrasi. Dari data aspek ini, sebanyak 88,67 persen skoring kebebasan sipil di Tanah Mandar.
Demikian halnya dengan variabel kebebasan berpendapat, ditemukan 67,77 persen data IDI yang menunjukkan bahwa sepanjang 2013 berjalan datar-datar saja alias sedang. Adapun soal kebebasan berkeyakinan, indeks demokrasi relatif berjalan baik dengan tingkat persentase 89,89 persen.
Kendati demikian, menurut Direktur Yayasan Karampuang, Arie Aditya, aspek kebebasan sipil tak serta merta dapat dicermati dalam tangkapan empirik. Sebab dalam dimensi sosial, pertimbangan psikologis kerap digunakan untuk melakukan langkah-langkah kekerasan. “Kekerasan fisik mungkin saja tak ditemukan. tapi jangan kira boleh jadi justeru menggunakan pola intimasi dengan cara lain,” ujar Aditya.
Ia mencontohkan, dengan dibatasinya dana bantuan sosial (bansos), menjadi indikator bahwa pola pergerakan kekerasan tak melulu hanya bersifat fisik saja. Dengan pembatasan itu, disinyalir ada upaya struktural terhadap pelemahan daya kritis terhadap masyarakat sipil. “Menurut saya, itu juga kekerasan dalam bentuk lain,” tandasnya.
Hal serupa dikemukakan Ketua Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mamuju, Syamsuddin. Menurutnya, penggunaan kekuatan birokrasi acapkali digunakan untuk membungkam pemenuhan hak-hak sipil. Sehingga, dengan belum ditemukannya dokumen tertulis tentang data pembungkaman kebebasan sipil, bukan berarti Sulbar benar-benar bersih dari klaim tersebut.
Dengan masih dibolehkannya rangkap jabatan di tataran politik dan jabatan penyelenggara negara sangat membuka pintu bagi pengambil kebijakan untuk berbuat kekerasan dengan berlindung di balik alasan prosedural. “Diskriminasi itu sebenarnya sering muncul di lingkatan pengambil kebijakan. Dan itu sangat rentan terjadi,” tegas Syamsuddin.
Dalam Diskusi IDI ini juga terungkap perlunya peninjauan kembali terhadap variabel kebebasan berkeyakinan. Sebab terdapat konotasi yang cenderung menggiring publik untuk tidak menyetujui hadirnya perda-perda bercita rasa agama.
Penerapan Perda Zakat nomor 9 tahun 2008 di Kabupaten Mamuju misalnya, dianggap sebagai bentuk intervensi pemangku kekuasaan terhadap ajaran agama tertentu. Bahkan dianggap membatasi sekaligus mengharuskan masyarakat menjalankan jenis anjuran agama yang bernaung di bawah payung hukum sekelas peraturan daerah. Sementara di sisi lain, juga terdapat celah positif untuk terus mendorong setiap warga negara menganut agama sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulbar, Ust. Namru Asdar menyebutkan, pada konteks penerapan perda berbasis agama kiranya didudukkan dalam formasi implementasi kepatuhan penganut agama terhadap Tuhan yang disembahnya.
“Keharusan membayar Zakat kan tidak diwajibkan untuk kalangan non muslim. Sementara untuk muslim, itu kan kewajiban. Saya kira kalau pemerintah memberlakukan aturan seperti itu, sebanarnya tidak bisa dipahami sebagai bentuk pemaksaan ajaran agama,” jelas Namru Asdar.
Kata Kabid Politik Daerah Kesbangpol dan Linmas Sulbar, Fahri Yusuf, pencantuman indikator aturan tertulis yang membatasi kebebasan atau mengharuskan masyarakat menjalankan ajaran agama yang diyakininya memang perlu dipahami lebih arif dan bijaksana. Kendati wacana demokrasi sangat mendambakan adanya kebebasan menjalankan ajaran agama, bukan berarti harus membatasi lingkar kekuasaan untuk menerapkan aturan yang punya ciri khas agama tertentu.
“Jadi kalau saya, indikator ini perlu kita bicarakan lebih serius. Yang jelas ini menarik untuk kita bicarakan lebih lanjut terkait formulasi ajaran agama jika dikaitkan dengan penerapan dalam hukum formal,” ucapnya.
Sementara itu, aktivis Koalisi Perempuan, Almah Aliuddin mengutarakan, perspektif terhadap proses rancang bangun agama dan negara sebaiknya dipadu padankan dengan semangat serta nilai-nilai religius.
“Apa artinya kita mengejar kehebatan demokrasi jika toh pada nantinya kita sama sekali tak punya ruang untuk menjalankan ajaran agama masing-masing. Ruang pemerintah itu kan jelas, yakni melakukan pembiunaan terhadap masyarakat yang dinaunginya. Kalau pemerintah bertanggung jawab terhadap masa depan rakyatnya, tentu mereka juga akan membimbing agar seluruh warga dapat semakin paham dan cermat terhadap kepatuhannya pada nilai-nilai agama yang diyakini,” ungkapnya.
Demikian halnya dengan variabel kebebasan berpendapat, ditemukan 67,77 persen data IDI yang menunjukkan bahwa sepanjang 2013 berjalan datar-datar saja alias sedang. Adapun soal kebebasan berkeyakinan, indeks demokrasi relatif berjalan baik dengan tingkat persentase 89,89 persen.
Kendati demikian, menurut Direktur Yayasan Karampuang, Arie Aditya, aspek kebebasan sipil tak serta merta dapat dicermati dalam tangkapan empirik. Sebab dalam dimensi sosial, pertimbangan psikologis kerap digunakan untuk melakukan langkah-langkah kekerasan. “Kekerasan fisik mungkin saja tak ditemukan. tapi jangan kira boleh jadi justeru menggunakan pola intimasi dengan cara lain,” ujar Aditya.
Ia mencontohkan, dengan dibatasinya dana bantuan sosial (bansos), menjadi indikator bahwa pola pergerakan kekerasan tak melulu hanya bersifat fisik saja. Dengan pembatasan itu, disinyalir ada upaya struktural terhadap pelemahan daya kritis terhadap masyarakat sipil. “Menurut saya, itu juga kekerasan dalam bentuk lain,” tandasnya.
Hal serupa dikemukakan Ketua Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mamuju, Syamsuddin. Menurutnya, penggunaan kekuatan birokrasi acapkali digunakan untuk membungkam pemenuhan hak-hak sipil. Sehingga, dengan belum ditemukannya dokumen tertulis tentang data pembungkaman kebebasan sipil, bukan berarti Sulbar benar-benar bersih dari klaim tersebut.
Dengan masih dibolehkannya rangkap jabatan di tataran politik dan jabatan penyelenggara negara sangat membuka pintu bagi pengambil kebijakan untuk berbuat kekerasan dengan berlindung di balik alasan prosedural. “Diskriminasi itu sebenarnya sering muncul di lingkatan pengambil kebijakan. Dan itu sangat rentan terjadi,” tegas Syamsuddin.
Dalam Diskusi IDI ini juga terungkap perlunya peninjauan kembali terhadap variabel kebebasan berkeyakinan. Sebab terdapat konotasi yang cenderung menggiring publik untuk tidak menyetujui hadirnya perda-perda bercita rasa agama.
Penerapan Perda Zakat nomor 9 tahun 2008 di Kabupaten Mamuju misalnya, dianggap sebagai bentuk intervensi pemangku kekuasaan terhadap ajaran agama tertentu. Bahkan dianggap membatasi sekaligus mengharuskan masyarakat menjalankan jenis anjuran agama yang bernaung di bawah payung hukum sekelas peraturan daerah. Sementara di sisi lain, juga terdapat celah positif untuk terus mendorong setiap warga negara menganut agama sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulbar, Ust. Namru Asdar menyebutkan, pada konteks penerapan perda berbasis agama kiranya didudukkan dalam formasi implementasi kepatuhan penganut agama terhadap Tuhan yang disembahnya.
“Keharusan membayar Zakat kan tidak diwajibkan untuk kalangan non muslim. Sementara untuk muslim, itu kan kewajiban. Saya kira kalau pemerintah memberlakukan aturan seperti itu, sebanarnya tidak bisa dipahami sebagai bentuk pemaksaan ajaran agama,” jelas Namru Asdar.
Kata Kabid Politik Daerah Kesbangpol dan Linmas Sulbar, Fahri Yusuf, pencantuman indikator aturan tertulis yang membatasi kebebasan atau mengharuskan masyarakat menjalankan ajaran agama yang diyakininya memang perlu dipahami lebih arif dan bijaksana. Kendati wacana demokrasi sangat mendambakan adanya kebebasan menjalankan ajaran agama, bukan berarti harus membatasi lingkar kekuasaan untuk menerapkan aturan yang punya ciri khas agama tertentu.
“Jadi kalau saya, indikator ini perlu kita bicarakan lebih serius. Yang jelas ini menarik untuk kita bicarakan lebih lanjut terkait formulasi ajaran agama jika dikaitkan dengan penerapan dalam hukum formal,” ucapnya.
Sementara itu, aktivis Koalisi Perempuan, Almah Aliuddin mengutarakan, perspektif terhadap proses rancang bangun agama dan negara sebaiknya dipadu padankan dengan semangat serta nilai-nilai religius.
“Apa artinya kita mengejar kehebatan demokrasi jika toh pada nantinya kita sama sekali tak punya ruang untuk menjalankan ajaran agama masing-masing. Ruang pemerintah itu kan jelas, yakni melakukan pembiunaan terhadap masyarakat yang dinaunginya. Kalau pemerintah bertanggung jawab terhadap masa depan rakyatnya, tentu mereka juga akan membimbing agar seluruh warga dapat semakin paham dan cermat terhadap kepatuhannya pada nilai-nilai agama yang diyakini,” ungkapnya.
Komentar