Catatan Dialog Penegakan Hukum di Tahun Politik (Bag I)
Oleh Henry J. Schmandt dalam buku Filsafat Politik (III,2009) telah mencatat bahwa sejak 2500 tahun lalu, politik telah menjadi perbincangan yang diseriusi para filosof dari segala zaman. Salah satu alasannya, karena politik tak pernah lepas dari aktivitas yang menyentuh segala lini kehidupan.
Di antara kalangan yang berupaya akan hal itu adalah para teolog semisal St. Augustine, Maimonides, St. Thomas Aquinas dan Calvin. Demikian pula dengan filosof sekelas Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, Hegel dan Maritain; para penyair seperti Dante, Coleridge, Dostoevski, Hawthorne maupun orwel dan masih banyak lagi.
Keseriusan mengelupas ihwal politik ini lebih dalam, menandai bahwa manusia memiliki tabiat atau dalam istilah yang lebih samawi disebut dengan fithrah untuk bertanya tentang dirinya, lingkungannya, perannya, maksud serta tujuan eksistensinya.
Ajaibnya, dari kegusaran akan pencarian itu terbentuklah gudang pemikiran yang meluaskan pengetahuan manusia. Lebih tegas lagi pemikiran spekulatif itu ditandai dengan desakan kesadaran bahwa manusia meniscayakan politik sebagai bagian tak terpisahkan dalam kehidupannya.
Masih dalam catatan Henry itu, politik bagi Professor Leo Strauss meliputi dua pokok persoalan; yaitu institusi dan tatanan yang berpijak di atas nilai-nilai moral.
Zaman kini telah berubah. Namun tendensi terhadap dua pokok yang dipetakan Strauss ini didudukkan dalam bidang pelacakan yang benar-benar terpisah. Institusi dalam konstuksi teori diseret sekeras mungkin dalam cangkang ilmu politik. Sementara moralitas diurai sebagai garapan filsafat politik.
Pemetaan di atas rupanya terwariskan sedemikian evolutif, sehingga nyaris melenakan semua generasi untuk mengelaborasi konstruk kesadaran itu. Padahal, jika ditelisik lebih dalam, daya rambat demokratisasi akan selamanya kandas oleh karena tatanan kesadaran telah terlampau kusut.
Diskusi yang digelar Harian Rakyat Sulbar bekerjasama dengan LKP2D-LBH Mandar Yustisi Rabu lalu (15/1) bertajuk Penegakan Hukum di Tahun Politik harus diakui makin menegaskan masih adanya gumpalan kesadaran dikotomis itu.
Sehingga, wajar ketika ketua KPU Sulbar, Usman Suhuriah melontarkan kalimat tanda peringatan: Bahwa 2.458 caleg di Sulbar seluruhnya berpotensi menghadapi masalah hukum. "Ditambah lagi dengan 22.000 regu penyelenggara juga akan berhadapan dengan pelanggaran hukum," ucap Usman dalam dialog malam itu.
Sementara di sisi lain, trust atau kepercayaan publik kian hari kian melorot disebabkan pengaruh langsung politik itu dirasakan makin tak punya nilai maupun bobot. "Orang sekarang sudah mulai tak peduli dengan pemilu," katanya.
Professor Strauss benar-benar jitu memberikan pemetaan itu. Bahkan hingga kini, dua point di atas itulah yang benar-benar mendesak untuk diurai benang kusutnya. Penataan institusi politik berikut perangkat hukum sebenarnya telah sedemikian apik bentukannya. Pun dengan alur pengaduan atas berbagai tindak pelanggaran pemilu telah tersusun rapi. Namun itu semua akhirnya hanya menjadi sebatas teks mati dan tak punya nyali apa-apa. Walau sekedar ditafsir sekalipun. "Karena hukum lemah terhadap aktor politik. Kepastian hukum pun agak lemah terhadap pemilu," tegasnya.
Anggota Bawaslu Sulbar Muhammad Yunus membenarkan argumen tersebut. "Mustahil pemilu berlangsung tanpa pelanggaran," ucapnya singkat dalam dialog yang dipadati puluhan orang itu.
Pelanggaran demi pelanggaran itu makin ironis karena berlangsung bak drama kolosal. Sebab aktornya melibatkan banyak pihak sekaligus dilakonkan dengan perencanaan utuh. Menurutnya, secara kasat mata, masyarakat kita makin permisif terhadap praktek yang sering terjadi di pemilu yakni money politic. "Bahkan saat ini makin parah karena masyarakat makin menciptakan pasar money politic. Buktinya, ada daerah yang kami masuki, justeru mengumumkan sebagai pihak yang sangat siap menerima money politic," jelas Yunus.
Bagi ketua HMI cabang Manakarra, Nanang Wahidin, penyeleggara pemilu pun tak bisa lepas dari jeratan sosial untuk diadili agar tak berbusung dada dengan dengan segala fasilitas negara yang melingkupinya. Tak cukup hanya dengan menampakkan laporan kinerja beralas dokumen administratif, apalagi jika institusi hanya menjadi alat untuk menegaskan eksistensi kehidupan para komisioner.
"Karena itu kami minta KPU benar-benar serius bekerja. Turun ke lapangan. Tinjau apa saja yang terjadi di sana. Karena di lapangan kita masih menemukan ada warga yang tak tahu apa yang dikerjakan KPU," tegas Nanang.
Dengan kondisi yang kita alami ini, harus diakui, pancaran demokrasi khususnya di Sulawesi Barat sungguh-sungguh masih tampak redup. Jika tak ingin disebut kian meredup.
Di antara kalangan yang berupaya akan hal itu adalah para teolog semisal St. Augustine, Maimonides, St. Thomas Aquinas dan Calvin. Demikian pula dengan filosof sekelas Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, Hegel dan Maritain; para penyair seperti Dante, Coleridge, Dostoevski, Hawthorne maupun orwel dan masih banyak lagi.
Keseriusan mengelupas ihwal politik ini lebih dalam, menandai bahwa manusia memiliki tabiat atau dalam istilah yang lebih samawi disebut dengan fithrah untuk bertanya tentang dirinya, lingkungannya, perannya, maksud serta tujuan eksistensinya.
Ajaibnya, dari kegusaran akan pencarian itu terbentuklah gudang pemikiran yang meluaskan pengetahuan manusia. Lebih tegas lagi pemikiran spekulatif itu ditandai dengan desakan kesadaran bahwa manusia meniscayakan politik sebagai bagian tak terpisahkan dalam kehidupannya.
Masih dalam catatan Henry itu, politik bagi Professor Leo Strauss meliputi dua pokok persoalan; yaitu institusi dan tatanan yang berpijak di atas nilai-nilai moral.
Zaman kini telah berubah. Namun tendensi terhadap dua pokok yang dipetakan Strauss ini didudukkan dalam bidang pelacakan yang benar-benar terpisah. Institusi dalam konstuksi teori diseret sekeras mungkin dalam cangkang ilmu politik. Sementara moralitas diurai sebagai garapan filsafat politik.
Pemetaan di atas rupanya terwariskan sedemikian evolutif, sehingga nyaris melenakan semua generasi untuk mengelaborasi konstruk kesadaran itu. Padahal, jika ditelisik lebih dalam, daya rambat demokratisasi akan selamanya kandas oleh karena tatanan kesadaran telah terlampau kusut.
Diskusi yang digelar Harian Rakyat Sulbar bekerjasama dengan LKP2D-LBH Mandar Yustisi Rabu lalu (15/1) bertajuk Penegakan Hukum di Tahun Politik harus diakui makin menegaskan masih adanya gumpalan kesadaran dikotomis itu.
Sehingga, wajar ketika ketua KPU Sulbar, Usman Suhuriah melontarkan kalimat tanda peringatan: Bahwa 2.458 caleg di Sulbar seluruhnya berpotensi menghadapi masalah hukum. "Ditambah lagi dengan 22.000 regu penyelenggara juga akan berhadapan dengan pelanggaran hukum," ucap Usman dalam dialog malam itu.
Sementara di sisi lain, trust atau kepercayaan publik kian hari kian melorot disebabkan pengaruh langsung politik itu dirasakan makin tak punya nilai maupun bobot. "Orang sekarang sudah mulai tak peduli dengan pemilu," katanya.
Professor Strauss benar-benar jitu memberikan pemetaan itu. Bahkan hingga kini, dua point di atas itulah yang benar-benar mendesak untuk diurai benang kusutnya. Penataan institusi politik berikut perangkat hukum sebenarnya telah sedemikian apik bentukannya. Pun dengan alur pengaduan atas berbagai tindak pelanggaran pemilu telah tersusun rapi. Namun itu semua akhirnya hanya menjadi sebatas teks mati dan tak punya nyali apa-apa. Walau sekedar ditafsir sekalipun. "Karena hukum lemah terhadap aktor politik. Kepastian hukum pun agak lemah terhadap pemilu," tegasnya.
Anggota Bawaslu Sulbar Muhammad Yunus membenarkan argumen tersebut. "Mustahil pemilu berlangsung tanpa pelanggaran," ucapnya singkat dalam dialog yang dipadati puluhan orang itu.
Pelanggaran demi pelanggaran itu makin ironis karena berlangsung bak drama kolosal. Sebab aktornya melibatkan banyak pihak sekaligus dilakonkan dengan perencanaan utuh. Menurutnya, secara kasat mata, masyarakat kita makin permisif terhadap praktek yang sering terjadi di pemilu yakni money politic. "Bahkan saat ini makin parah karena masyarakat makin menciptakan pasar money politic. Buktinya, ada daerah yang kami masuki, justeru mengumumkan sebagai pihak yang sangat siap menerima money politic," jelas Yunus.
Bagi ketua HMI cabang Manakarra, Nanang Wahidin, penyeleggara pemilu pun tak bisa lepas dari jeratan sosial untuk diadili agar tak berbusung dada dengan dengan segala fasilitas negara yang melingkupinya. Tak cukup hanya dengan menampakkan laporan kinerja beralas dokumen administratif, apalagi jika institusi hanya menjadi alat untuk menegaskan eksistensi kehidupan para komisioner.
"Karena itu kami minta KPU benar-benar serius bekerja. Turun ke lapangan. Tinjau apa saja yang terjadi di sana. Karena di lapangan kita masih menemukan ada warga yang tak tahu apa yang dikerjakan KPU," tegas Nanang.
Dengan kondisi yang kita alami ini, harus diakui, pancaran demokrasi khususnya di Sulawesi Barat sungguh-sungguh masih tampak redup. Jika tak ingin disebut kian meredup.
Komentar