Langsung ke konten utama

Warisan Ideologi Ulama Mandar

Sabtu, 1 Februari 2014, kemarin, diperingati kisah kelam tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Tanah Mandar. Peristiwa itu lazim disebut Panyapuang di Galung Lombok.

Pada 1947 silam, ada banyak nyawa yang melayang dalam sekali siraman peluru para serdadu Westerling. Mereka dipaksa berjalan dari berbagai penjuru. Dari Baruga, Segeri, Pumbeke, Tinambung, dan Lawarang, kemudian berbaris. Dari mereka yang telah menjemput kesyahidannya, terdapat puluhan ulama mandar yang sangat kental dengan dengan karamah dan kezuhudannya.

Dari jejak ulama-ulama itu, terpancar dua tradisi sekaligus. Yaitu pencerah dan penggerak. Mereka mengajarkan agama, sekaligus mengerakkan perjuangan mengangkat martabat bangsa. Inilah yang dimaksud dengan isitilah: Ruhbanan fi lailin wa rukbanan fi naharin (rahib di malam hari, penunggang kuda di siang hari).

Dua garapan ini yang sesungguhnya menjadi warisan para pendahulu, khususnya di kalangan ulama. Mereka menyibukkan diri memasok kader anak-anak bangsa. Saat bersamaan, ikut terlibat langsung menegakkan harga diri bangsa Indonesia.

Ada pertanyaan khas para peneliti sejarah tragedi pembantaian di Galung Lombok. Di antaranya, mengapa harus membabat habis para ulama di tanah mandar waktu itu?

Salah satu alasannya adalah bahwa di balik penembakan para ulama terdapat kepentingan meruntuhkan simbol kharisma dan ketokohan yang tampil sedemikian gigih, tak ada kompromi alias bergeming sedikit pun.

Gerbong GAPRI 531 misalnya, dari beberapa data tertulis yang penulis dapati, gerakan mereka benar-benar utuh dalam pusaran kepentingan yang sama. Bahwa NKRI telah final sekaligus bukan hal yang mesti didebat di zaman mutakhir ini. Terlebih jika ada generasi yang mencoba mewacanakan perombakan negara.

Simbol keulamaannya tuntas mengawinkan agama dan negara dalam dua entitas yang tak mesti dibenturkan dari dua kutub yang diekstrimkan. Mereka tak lagi gusar untuk menjemput dua predikat setelah kematian benar-benar tiba; yaitu Syuhada dalam tafsir agama dan Pahlawan dalam tafsir Negara.

Ruang tafsir ini tampak belum khatam di benak penerus bangsa, khususnya di tanah mandar. Apa yang kemudian terjadi? Kita makin tergerus oleh infiltrasi gerakan keagamaan yang kerdil dengan keakraban budaya berbangsa dan bernegara. Tanaman ideologis para ulama di masa silam seketika diberangus dalam tuduhan yang serba meminggirkan.

Inilah problem mutakhir kita sebagai anak-anak muda untuk mengenali lebih utuh akan warisan sejarah para ulama di tanah mandar. Terakhir, dengan meminjam pesan Edward Polinggoman; jangan terburu-buru menyimpulkan sejarah di tanah Mandar. Karena kampung ini kaya dengan khazanah yang memerlukan pelacakan lebih bijak. Lepas dari sentimen geo-sektoral.

Pun dengan kaum muda, kata Edward, semestinya berbesar hati merujuk kiprah para pejuang di Mandar. Tegasnya kita masih harus menggali warisan ideologis para ulama di Mandar. Agar masa depan kita tak salah alamat. Atau agar kehidupan kita tak dilumuri oleh kutukan dikarenakan penerus bangsa ini yang makin tak tahu diri menjadi penikmat negara yang berjuluk sepotong surga yang jatuh ke bumi. Itulah Indonesia.

(Telah diterbitkan di Harian Rakyat Sulbar)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui