Dunia maya dewasa ini terus menunjukkan eksistensinya yang berdiri sendiri. Terpisah dari entitas sosial lainnya. Beraneka rupa disajikan, mulai dari facebook, twitter, we chat, WhatsApp, LINE hingga Kakao Talk. Ajaibnya, pengguna layanan virtual itu kerap menjadi member atas seluruh menu media sosial di layanan virtual.
Eksistensi media sosial juga kian percaya diri untuk disematkan predikat sebagai pilar kelima demokrasi. Setelah ekskutif, legislatif, yudikatif dan Pers. Dengan berkaca dari layanan itu, ada banyak limpahan informasi bernada gugat, gusar, gurih, dan renyah. Semuanya teramu dari seluruh susunan wall dengan daya tampung komentator dengan kapasitas berlipat ganda. Irisan wilayah privasi pun nyaris kian terhimpit.
Para pegiat spin doctor, juga kerap menjadikannya sebagai media pencitraan bagi kandidat tertentu. Mulai dari calon Presiden, hingga calon Kepala Desa. Pola ini dianggap efektif baik dari sisi pertimbangan finansial, maupun dalam sudut pandang strategi memenangkan citra di mata publik.
Sebaliknya, dengan layanan media sosial itu, sejumlah persoalan pun terungkap satu demi satu. Tengoklah bagaimana kasus-kasus yang membelit para petinggi negara terus 'digembosi' secara sporadis agar pintu Pengadilan dapat terbuka selebar mungkin. Bahkan tak menutup kemungkinan, stigma pelemahan terhadap institusi hukum kerap kali muncul ketika dunia maya melakukan gertakan semesta alam.
Kini, eksistensi media sosial benar-benar dirasakan dampaknya. Khususnya, saat menemukan sejumah pihak merasa tak puas dengan kebijakan pemerintah. Di situ, perlawanan virtual dilancarkan. Kutukan pun dilafazkan dengan fasih lewat deret kata-kata. Tak luput di dalamnya kadang ada caci maki yang melukai rasa, menyeret jati diri agar tak lagi berwatak pengampun.
Di sini, atau tegasnya di alam virtual, kebenaran tak mutlak adanya. Bahkan sumber kebenaran juga tak jadi soal. Karena pada dasarnya, yang dipentingkan adalah upaya memenangkan persepsi di mata publik. Maka jangan heran ketika debat kusir cukup akrab dicermati, apalagi jika sumbernya hanya ditampakkan dalam identitas serba anonim.
Dengan meminjam istilah Jurgen Harbermas, era pos modernitas juga erat kaitannya dengan limpahan informasi. Pada titik tertentu, manusia dibuat mabuk informasi.
Kendati demikian, perilaku manusia yang kian gandrung dengan perlawanan dunia maya itu sepatutnya diletakkan dalam perspektif yang lebih luas. Bahwa ada banyak sisi yang perlu ditimbang sebelum seluruh amuk itu terkumpul dalam kecaman virtual.
Artinya, bukan mustahil jika seluruh yang tertuang dalam wall hanyalah bagian dari ekspresi subjektif para pemilik akun. Tidak benar-benar dimunculkan oleh sebab musabab yang dapat dipertanggungjawabkan lebih lanjut. (*)
Eksistensi media sosial juga kian percaya diri untuk disematkan predikat sebagai pilar kelima demokrasi. Setelah ekskutif, legislatif, yudikatif dan Pers. Dengan berkaca dari layanan itu, ada banyak limpahan informasi bernada gugat, gusar, gurih, dan renyah. Semuanya teramu dari seluruh susunan wall dengan daya tampung komentator dengan kapasitas berlipat ganda. Irisan wilayah privasi pun nyaris kian terhimpit.
Para pegiat spin doctor, juga kerap menjadikannya sebagai media pencitraan bagi kandidat tertentu. Mulai dari calon Presiden, hingga calon Kepala Desa. Pola ini dianggap efektif baik dari sisi pertimbangan finansial, maupun dalam sudut pandang strategi memenangkan citra di mata publik.
Sebaliknya, dengan layanan media sosial itu, sejumlah persoalan pun terungkap satu demi satu. Tengoklah bagaimana kasus-kasus yang membelit para petinggi negara terus 'digembosi' secara sporadis agar pintu Pengadilan dapat terbuka selebar mungkin. Bahkan tak menutup kemungkinan, stigma pelemahan terhadap institusi hukum kerap kali muncul ketika dunia maya melakukan gertakan semesta alam.
Kini, eksistensi media sosial benar-benar dirasakan dampaknya. Khususnya, saat menemukan sejumah pihak merasa tak puas dengan kebijakan pemerintah. Di situ, perlawanan virtual dilancarkan. Kutukan pun dilafazkan dengan fasih lewat deret kata-kata. Tak luput di dalamnya kadang ada caci maki yang melukai rasa, menyeret jati diri agar tak lagi berwatak pengampun.
Di sini, atau tegasnya di alam virtual, kebenaran tak mutlak adanya. Bahkan sumber kebenaran juga tak jadi soal. Karena pada dasarnya, yang dipentingkan adalah upaya memenangkan persepsi di mata publik. Maka jangan heran ketika debat kusir cukup akrab dicermati, apalagi jika sumbernya hanya ditampakkan dalam identitas serba anonim.
Dengan meminjam istilah Jurgen Harbermas, era pos modernitas juga erat kaitannya dengan limpahan informasi. Pada titik tertentu, manusia dibuat mabuk informasi.
Kendati demikian, perilaku manusia yang kian gandrung dengan perlawanan dunia maya itu sepatutnya diletakkan dalam perspektif yang lebih luas. Bahwa ada banyak sisi yang perlu ditimbang sebelum seluruh amuk itu terkumpul dalam kecaman virtual.
Artinya, bukan mustahil jika seluruh yang tertuang dalam wall hanyalah bagian dari ekspresi subjektif para pemilik akun. Tidak benar-benar dimunculkan oleh sebab musabab yang dapat dipertanggungjawabkan lebih lanjut. (*)
Komentar