Langsung ke konten utama

Majene Kota Pendidikan, Masih Adakah?

Lama sudah tak terdengar seruan ini. Yang bertahan masih sebatas kicauan di beberapa media sosial saja. Pembicarannya timbul tenggelam. Sangat tergantung pada apa dan siapa yang berinisiatif membincangkannya. Adapun progress yang lebih terukur, masih memerlukan seribu satu pertanyaan.

Padahal untuk yang satu ini, sesungguhnya satu paket dengan agenda pembentukan Provinsi Sulawesi Barat sembilan tahun silam. Pemetaan yang menunjuk Majene sebagai Kota Pendidikan bukanlah bak pembagian kue kering vs kue basah. Ada mata rantai historis, melebihi durasi pembentukan Provinsi yang berjuluk malaqbi ini.

Namun seiring berjalannya waktu, suara perjuangan itu kian hari kian redup. Nyaris menjadi bangkai yang terhimpit timbunan tanah lalu tak bakal dikenang lagi. Ikhtiar mewujudkan Majene sebagai Kota Pendidikan di Sulbar boleh dikata terlampau disederhanakan. Pola penanganannya serba kaku dan berbau proyek. Desain kota pendidikan hanya dipandang dalam bingkai sempit. Cukup dengan membangun perguruan tinggi, proyek penambahan ruang kegiatan belajar (RKB) di sekolah, pengadaan buku, dan pemanfaatan dana BOS.

Sesungguhnya, jika diselami lebih dalam, hingga kini Sulbar belum memiliki desain pendidikan yang dapat diperlihatkan ke permukaan. Pun dengan gerakan atau rekayasa kultural berjalan landai dan sepi. Segelintir aktivis yang peduli dengan masalah ini terlihat harus berjuang setengah mati dengan dukungan pemerintah yang setengah-setengah. Konsep mereka dihitung usang jika tak ingin disebut diabaikan begitu saja.

Sehingga, segala bentuk kebijakan hanya terpaku pada rencana menggelontorkan anggaran berlimpah tanpa dibarengi dengan desain utuh menyeluruh terhadap proses pembangunan di Sulbar.

Hasilnya, di saat Majene sedang gencar-gencarnya menjemput bola sebagai Kota Pendidikan, justeru harus tersandung masalah legalitas Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi  Barat yang hingga kini belum tuntas pengesahannya. Sebuah hal yang seharusnya telah usai ditunaikan.

Ikon Ibu Kota Pendidikan, yaitu Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar) juga makin tak menunjukkan tanda-tanda menggembirakan. Justeru terlihat polemik yang tak berkesudahan. Benar-benar tak jauh beda dengan kelompok arisan yang kerap dilanda keretakan hanya karena persoalan siapa yang paling berhak menerima hasil arisan. Narasi bernada gugatan ini memang tidak berangkat dari pertimbangan normatif. Akan tetapi jauh lebih memandang bingkai fenomenologisnya, betapa publik harus mengelus dada sembari mengucap kata-kata penuh kecewa. Oh, rupanya seperti inilah tingkah para kaum intelektual saat dibayangi oleh perebutan kursi kekuasaan.

Untung saja, karena publik masih sedemikian pemaaf dalam menyimak permainan yang sangat tidak mengasyikkan ini. Namun jangan menyangka, sikap diam publik itu juga sedang disuburkan oleh ketidakpercayaan yang menjadi-jadi terhadap para pemimpinnnya. Mereka tak lagi pernah kenal dengan rumus; pejabat juga manusia.

Di sinilah perlunya, Pemerintah harus membuka ruang kesadaran personal masing-masing. Bahwa hari ini, persoalan Majene Kota Pendidikan sungguh-sungguh tak lagi menggetarkan hati untuk dibicarakan.

Mengapa? Karena agenda ini terasa makin tak diseriusi dengan baik. Sama nasibnya dengan ikhtiar pemekaran Kabupaten Balanipa, yang hanya diucap pada setiap momen-momen politik saja. Selepas itu, cukup dikenang dalam ingatan.

Jika hari ini kita masih bertanya seputar ‘apa kabarmu’, tak lebih dari upaya mengingat ulang. Bahwa kepada siapapun yang saat ini memikul beban sebagai pejuang aspirasi rakyat, semestinya malu dengan kondisi ini. Lebih tegasnya, mereka mesti malu jika jabatan yang
disandangnya itu tak mampu dipertaruhkan untuk mewujudkan usaha tersebut.

Sulbar ini butuh masa depan yang lebih cemerlang. Bagaimana kita mampu mewujudkannya jika pasokan SDM tak dipikirkan sejak dini? Bagaimana mungkin kita bicara soal kemajuan, sementara pendidikan dikebiri sedemikian rupa? Logika macam apa yang digunakan untuk terus bicara pemberdayaan lokal, sementara sumberdaya lokal tak dibengkeli?

Tengoklah dunia kampus yang bertengger di berbagai Kabupaten hari ini. Terlihat betapa keringnya mereka dari aktivitas yang mengantar pada etos pengetahuan. Proses perkuliahan tak ubahnya sebagai pertemuan tanpa makna. Mahasiswa datang dan pergi, silih berganti dalam tampilan parade produk kapitalisme, aksesoris yang serba up to date. namun terpinggir dari wacana kritis. Selebihnya, kerap berakhir dengan hura-hura dengan basis pengetahuan yang serba tergantung. Jangan heran ketika terlahir ribuan sarjana yang panik dan tiba-tiba.

Inilah gambaran sumberdaya manusia yang dilahirkan secara tidak normal. Mereka dipaksa membaca peta kehidupan, sementara alur berpikirnya tak pernah dipersiapkan ke sana. Potret buram wajah pendidikan ini agaknya dibiarkan begitu saja, tanpa mempertimbangkan aspek kepentingan berjangka panjang.

Problem seperti ini sudah seharusnya dipreteli agar tak menjadi kebiasaan yang dibenarkan di kemudian hari. Jika kita memiliki kesadaran kolektif untuk perbaikan provinsi ini ke depan. Di sinilah diperlukan intervensi kebijakan yang benar-benar menyentuh titik sublim masalah. Bolehlah pemerintah di Sulbar tak berhenti bicara soal pembangunan fisikal. Tapi jangan abaikan juga agenda penataan sumberdaya manusia.

Dengan meminjam penyataan Jusuf Kalla (JK): “Bangsa yang maju sangat ditentukan oleh para pemimpinnya”. Tariklah pernyataan itu ke Jazirah Mandar. Agar jelas siapa yang harus menjawab kegusaran kita bersama.

(Telah diterbitkan di Harian Rakyat Sulbar)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa