Langsung ke konten utama

Proyek Janggal Bisa Diganjal

Menyoal Pembangunan Bendungan Batu Empat Papalang Mamuju 
Proses pembangunan bendungan sungai Papalang di Desa Batu Empat kini sedang dipantau oleh pihak DPRD Sulbar. Pasalnya proyek ini telah mengalami 2 kali penganggaran. Tahun 2013 lalu telah dianggarkan sebanyak Rp1,8 Miliar. Namun dalam pelaksanaannya, pihak CV. Sederhana selaku pemenang tender rupanya tak sanggup menuntaskan pembangunannya.

Bahkan serpihan-serpihan yang ditinggalkan menunjukkan bahwa besteknya memang tak sesuai dengan kebutuhan pembangunan sebuah bendungan. Wajar jika CV. Sederhana masuk dalam salah satu temuan BPK RI di Sulawesi Barat.

Selanjutnya, pada tahun 2014, kembali dianggarkan dengan besaran anggaran Rp6,8 Miliar. Dalam proses lelang, CV. Citra Putra Latarang dinyatakan sebagai pemenangnya. “Kami bekerja sejak tanggal 16 Juni 2014, Pak,” kata Koordinator Teknis Lapangan, Muslimin.

Persoalannya pun belum usai. Pasca dibangunnya bendungan tersebut, sejumlah warga mulai harap-harap cemas. Pasalnya, areal perkebunan mereka bakal digenangi aliran sungai yang makin hari terus meningkat debetnya. Salah seorang tokoh Masyarakat, M. Yusuf menuturkan sebelum bendungan tersebut dibangun, warga masih dapat menyeberang ke kebunnya.

“Tapi sekarang ini kita sudah tidak bisa. Karena kedalamannya sduah sekitar 3 meter. Tidak mungkin lagi petani kita ini bisa menyeberang ke kebunnya. Bahkan ada di antara warga di Desa Batu Empat ini yang hilang areal perkebunannya akibat genangan air sungai ini,” terang Yusuf.

Dengan munculnya masalah ini, warga setempat mengharapkan agar pemerintah tak berlepas tangan. Mesti ada tanggung jawab bersama untuk menjawab persoalan yang dihadapi warga. “Salah satu opsi yang bisa kita tawarkan adalah kemungkinan  pembebasan lahan warga yang terkena dampak dari pembangunan bendungan ini,” tambah Yusuf.

Opsi yang lain, bisa melalui pembangunan talud. Namun menurut Sekretaris Dinas PU Sulbar, Jusgar Maula, sejak awal proyek ini memang memiliki problem perencanaan.

“Kalau kita menyoal karena penanggarannya 2 kali, memang masalahnya di perencanaan. Karena proyek seperti ini tidak mungkin bisa tuntas dengan anggaran Rp1,8 Miliar saja. Kedua, tidak serta merta juga akan mudah dilakukan opsi pembebasan lahan. Karena kalau kita akan menggunakan alat ukur berdasarkan areal Daerah Aliran Sungai (DAS), ukuran lebar sungai itu 10 meter. Ini memang akan jadi masalah kalau ada penduduk yang berkebun di tepi sungai,” kata Jusgar saat memantau Bendungan Sungai Papalang di Desa Batu Empat, akhir pekan lalu.

Semenara itu, ketua Komisi III DPRD Sulbar, Firman Argo Waskito mengatakan, persoalan ini tidak bisa dianggap usai. Sekali pun pembangunan tahap kedua telah selesai dilaksanakan.

“Tapi kan ini harus diproses lebih lanjut oleh pihak terkait untuk menanyakan hasil temuan BPK terhadap CV. Sederhana itu. Sebab jangan sampai dapat proyek lagi, sementara telah memiliki riwayat bermasalah dalam melaksanakan proyek,” tegas Firman.
 
Baginya, proyek ini telah menjadi salah satu sampel banyaknya proyek yang bermasalah di Sulawesi Barat. Saat ditanya seputar upaya pembebasan lahan, menurutnya hal itu bisa saja terjadi. “Itu ranahnya Komisi I. Tapi yang kita mau persoalkan dulu adalah CV. Sederhana ini. Kita mau agar diproses secara hukum,” tegasnya.

Hal senada dikemukakan Anggota DPRD Sulbar, Zadrak To’tuan. Politisi dapil Mamasa ini mengatakan, di antara dua pilihan; pembebasan lahan dan pembangunan talud, memang keduanya memiliki plus minusnya. “Tapi agat supaya ini mudah penyelesaiannya, lebih baik langsung pembebasan lahan saja. Kita kuatir ada masalah baru yang mengikuti kalau mau buat proyek Talud lagi,” tandas Zadrak.

Di tempat yang sama, sekretaris Komisi I DPRD Sulbar, Sukri Umar menegaskan, dua hal penting yang mesti menjadi perhatian pemerintah Sulbar. “Pertama, warga harus diganti rugi lahannya. Apapun alasannya, pembangunan ini berdampak ke masyarakat. Jadi tolong ini diganti rugi. Kedua, sudah saatnya setiap kontraktor dapat dievaluasi kinerjanya. Misalnya CV. Sederhana ini. Saya berencana akan mengusulkan ke lvel pimpinan DPRD untuk diproses di Kejaksaan,” pungkasnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa