Konsep kepemimpinan yang bergerak dinamis kerap tak sejurus dengan apa yang terjadi di lapangan. Mengapa? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita dapat mengambil sebuah statement Prof. Hamid Awaluddin. Katanya, masyarakat saat ini sedang dilanda oleh proses evolusi sosial. Ditandai dengan menggumpalnya basis masyarakat level tengah. Beliau mengistilahkan dengan sebutan mansyarakat menengah baru.
Kelompok menengah baru ini cukup efektif memengaruhi sebuah proses 'menjadi' seorang pemimpin. Karena kecakapannya untuk tak silau dengan hitungan angka-angka. Serta kesadaran tak tertipu pada setiap trend pencitraan.
Kemunculan generasi menengah baru ini cukup unik. Sebab secara politik, boleh jadi tak punya bargaining apa-apa. Namun di sisi lain, daya kritisnya tak tanggung-tanggung.
Karena posisinya yang berada di level tengah tersebut, membuat dua level lainnya, atas dan bawah sedemikian mudah digoyang. Arus ke bawah dikencangkan melalui isu kesadaran pentingnya menguliti berbagai kebijakan. Sementara arus atas dihadapi dengan berbagai argumentasi mematahkan kemapanan.
Ironisnya, dinamika ini terkadang tak dirasakan sebagai arus yang penting diperhitungkan. Hemat saya, inilah yang sedang melanda sebuah model kepemimpinan yang masih menganut gaya konvnesional. Untuk tak menyebutnya telah lapuk ditelan zaman.
Padahal, bagi siapapun yang hendak mendapuk kursi kekuasaan, sesungguhnya wajib untuk membaca isyarat alam ini. Artinya, ketika seorang pemimpin tak lagi mampu menjaga ritme atas dinamika sosial masyarakat, saat itulah ia kehilangan identitas sebagai pemimpin seutuhnya.
Saya menyebutnya sebatas pemimpi saja; mendambakan kesuksesan mengendalikan rakyat, namun kenyataannya sangat mudah ditumbangkan saat berjumpa dengan kalangan menengah baru itu. Atau sekurang-kurangnya saling bertahan dalam kebuntuan satu sama lain.
Akan lebih mencengangkan ketika paradigma kepemimpinan masih terus dilekatkan pasa asumsi 'warisan' saja. Padahal sesungguhnya kepemimpinan itu meniscayakan rekam jejak yang jelas. Tak tercoreng oleh peristiwa luka, terluka, apalagi sampai melukai.
Karenanya, kepada siapapun yang punya impian merebut kursi kekuasaan, haruslah berani menunjukkan nyalinya dalam berbagai timbangan.
Pertama, bersiaplah mempertaruhkan gagasan jitu sebagai pertanggung jawaban publik atas visi membangun bangsa. Kedua, ingatkan diri untuk terus memandang kekuasaan dalam dimensi holistik alias sadar diri. Atau tak jumawa dengan apa yang telah diraih. Ketiga, matangkan kecakapan komunikasi anda, untuk menempatkan segala tutur kata dan sikap pada posisi yang tepat.
Jika tidak, cukuplah jadi pemimpi yang tak pernah menggenapkan diri sebagai pemimpin. Pempimpin tanpa huruf 'n'.
Kelompok menengah baru ini cukup efektif memengaruhi sebuah proses 'menjadi' seorang pemimpin. Karena kecakapannya untuk tak silau dengan hitungan angka-angka. Serta kesadaran tak tertipu pada setiap trend pencitraan.
Kemunculan generasi menengah baru ini cukup unik. Sebab secara politik, boleh jadi tak punya bargaining apa-apa. Namun di sisi lain, daya kritisnya tak tanggung-tanggung.
Karena posisinya yang berada di level tengah tersebut, membuat dua level lainnya, atas dan bawah sedemikian mudah digoyang. Arus ke bawah dikencangkan melalui isu kesadaran pentingnya menguliti berbagai kebijakan. Sementara arus atas dihadapi dengan berbagai argumentasi mematahkan kemapanan.
Ironisnya, dinamika ini terkadang tak dirasakan sebagai arus yang penting diperhitungkan. Hemat saya, inilah yang sedang melanda sebuah model kepemimpinan yang masih menganut gaya konvnesional. Untuk tak menyebutnya telah lapuk ditelan zaman.
Padahal, bagi siapapun yang hendak mendapuk kursi kekuasaan, sesungguhnya wajib untuk membaca isyarat alam ini. Artinya, ketika seorang pemimpin tak lagi mampu menjaga ritme atas dinamika sosial masyarakat, saat itulah ia kehilangan identitas sebagai pemimpin seutuhnya.
Saya menyebutnya sebatas pemimpi saja; mendambakan kesuksesan mengendalikan rakyat, namun kenyataannya sangat mudah ditumbangkan saat berjumpa dengan kalangan menengah baru itu. Atau sekurang-kurangnya saling bertahan dalam kebuntuan satu sama lain.
Akan lebih mencengangkan ketika paradigma kepemimpinan masih terus dilekatkan pasa asumsi 'warisan' saja. Padahal sesungguhnya kepemimpinan itu meniscayakan rekam jejak yang jelas. Tak tercoreng oleh peristiwa luka, terluka, apalagi sampai melukai.
Karenanya, kepada siapapun yang punya impian merebut kursi kekuasaan, haruslah berani menunjukkan nyalinya dalam berbagai timbangan.
Pertama, bersiaplah mempertaruhkan gagasan jitu sebagai pertanggung jawaban publik atas visi membangun bangsa. Kedua, ingatkan diri untuk terus memandang kekuasaan dalam dimensi holistik alias sadar diri. Atau tak jumawa dengan apa yang telah diraih. Ketiga, matangkan kecakapan komunikasi anda, untuk menempatkan segala tutur kata dan sikap pada posisi yang tepat.
Jika tidak, cukuplah jadi pemimpi yang tak pernah menggenapkan diri sebagai pemimpin. Pempimpin tanpa huruf 'n'.
Komentar