Langsung ke konten utama

Betapa Tertinggalnya Mamasa

Perjalanan dari Kabupaten Polewali Mandar menuju Mamasa memang menyisakan banyak cerita miris. Betapa tidak, daerah yang digadang-gadang bakal menjadi kawasan Destinasi Pariwisata di Sulbar ini tampaknya masih sebatas mimpi. Kondisi jalan rusak yang sedemikian parah menjadi sebab utama mengapa cita-cita itu tampak mustahil diwujudkan.

Awalnya, jauh sebelum menjadi daerah otonomi, perjalanan dapat ditempuh dalam durasi yang cukup singkat. Utamanya saat masih bergabung dengan Polewali. Namun lambat laun akses utama ini kurang mendapat perhatian serius pemerintah dari satu periode ke periode lainnya.

Jelas ada benang kusut yang mesti diurai dalam bingkai yang lebih sistemik lagi bijak. Pertama, sistem perencanaan percepatan pembangunan hingga kini saling berebut ke-aku-an di mata publik. Pihak pemerintah baik Provinsi maupun Kabupaten belum sepenuhnya taat pada sistem perencanaan yang bermutu. Akibatnya, kerap terjadi kemunculan program yang tak dibutuhkan bagi warga Mamasa.

Kritik atas pembangunan Bandar Udara Sumarorong patut disimak. Bahwa hal tersebut hanya menguntungkan kepentingan warga berkelas ekonomi menengah ke atas. Sementara bagi warga yang berekonomi menengah ke bawah tetap saja harus menjadi penikmat jalan berlubang.

Kedua, secara politik, keterwakilan warga Mamasa di DPRD Sulbar juga belum menunjukkan tanda-tanda signifikan. Apa salahnya jika seluruh wakil rakyat daerah pemilihan Mamasa mendesakkan program aspirasi tunggal dan serupa; yakni perbaikan jalan.

Namun ini hanyalah kekesalan semata. Sebab kecenderungan berjalan sendiri-sendiri masih sedemikian kental lalu membuahkan keuntungan sepihak saja.

Catatan ini sengaja didesakkan sebagai bentuk keprihatinan setelah Mamasa berulang tahun yang ke 12. Rasanya teramat berat mengucapkan selamat hari ulang tahun bagi Kabupaten Mamasa di saat warganya masih terisolasi oleh berbagai ketertinggalan di sana-sini.

Singkatnya, apakah kita dapat mengucap selamat bagi sebuah daerah yang begitu tertinggal? Ataukah kita masih harus menunjukkan kalimat bijak bahwa ucapan selamat Ulang Tahun itu bakal menjadi cambuk kehormatan bagi para pemangku kebijakan untuk tulus berbuat bagi warga Mamasa?

Tak ada kalimat yang dapat memastikan hal itu. Namun yang pasti seluruh aktor politik di Mamasa mesti menegaskan satu hal. Bahwa buah dari perjuangan politik adalah kesejahteraan Rakyat. Bukan jembatan menciptakan konglomerat ataupun raja-raja baru.

Politik bagi warga Mamasa meniscayakan hadirnya pemerintahan yang tak hanya menepuk dada atas keberhasilan yang tak terukur. Tapi juga mesti menunjukkan sikap peduli bagi warga yang kini terus besabar mendaratkan kedua kakinya pada kubangan jalan yang tak terurus itu.

(Telah diterbitkan di Harian Rakyat Sulbar)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui