Langsung ke konten utama

Selamat Jalan Haji Syahrir...

Mendung pagi hari bumi Manakarra rupanya menyiratkan kabar duka yang mendalam. Seorang anggota DPRD Kabupaten Mamuju, H. Syahrir Abdullah dikabarkan telah berpulang ke Rahmatullah Sabtu (30/11/2013) kemarin. Ia menghembuskan nafas terakhirnya sekitar pukul 11.00 wita. Di Rumah Sakit Islam Faisal, Makassar.

Tak banyak tapak-tapak sejarah kehidupan beliau yang dapat terangkum dengan apik. Namun dari berbagai komentar koleganya, Almarhum adalah satu di antara politisi yang menghabiskan hidupnya dalam jabatan  sebagai anggota DPRD.

Wakil Ketua DPRD, Masram Jaya menuturkan, sosok almarhum hingga akhir hayatnya tetap kukuh menampakkan pribadi yang tegas untuk urusan memperjuangkan kepentingan umum. Sangat jelas prinsip dan komitmen kerakyatannya selama menjadi wakil rakyat. “Kamis pagi sekitar pukul 07.48 wita, saya masih sempat bicara lewat telepon kaitannya dengan tugas-tugas di kantor. Dan rupanya siang hari itu sudah ada kabar dilarikan ke rumah sakit,” kenang ketua DPD PAN Mamuju ini.

Di jajaran anggota DPRD Mamuju, almarhum diposisikan sebagai senior alias yang dituakan. Sepintas, kata ketua DPRD Mamuju, Sugianto, dia terkesan sangat serius. “Tapi bagi yang mengenalnya, almarhum itu jelaslah tipikal humoris. Kami sungguh merasa kehilangan beliau. Apalagi kepergiannya menjelang akhir periode kami sebagai anggota DPRD 2009-2014,” ungkap Sugianto lewat pesan singkatnya kepada Rakyat Sulbar.

Pun dengan Ketua DPC Partai Demokrat Mamuju yang juga wakil Ketua DPRD, Hj. Suraidah Suhardi. Di benaknya, Haji Syahrir menjadi sosok panutan yang menjalani hari tua dengan pengabdian pada bangsa dan

Negara. “Tidak semua orang dapat menjalani masa tuanya dengan pengabdian sebagai wakil rakyat. Beliau itu di DPRD sebagai orang tua, senior sekaligus teladan. Masa hidupnya mewariskan ungkapan-ungkapan yang menggugah kesadaran. Kematiannya pun kembali menggugah kesadaran agar tak silau dengan kehidupan dunia,” katanya sembari menyampaikan salam belasungkawa atas kepergian yang cukup mengagetkan itu.

Bukan hanya di kursi wakil rakyat, Haji Syahrir yang masih terdaftar sebagai caleg Partai Nasional Demokrat (NasDem) diakui sebagai sosok yang pada dirinya terpatri dua karakter sekaligus. “Beliau itu sosok yang kebapakan serta sikap bijak. Kami merasa sangat kehilangan. Jika kita dapat berandai-andai, almarhum sesungguhnya masih sangat diperlukan kehadirannya untuk mewariskan petuah-petuah hidup agar generasi sejawatnya dapat meneladani sikap luhurnya itu,” ujar Ketua Partai NasDem Sulbar, Arifin Nurdin.

Rekannya di fraksi PAN Sejahtera, Imran AB dan kolega Malik Ballako mengaku kaget dengan kabar kematian itu. Keduanya menyatakan salam duka tak bertepi. “Kita tak pernah menduga bakal secepat itu kepergiannya. Semoga saja almarhum mendapatkan ganjaran setimpal di sisi Tuhan,” kata Imran (PAN) sembari diamini Malik Ballako, politisi Partai NasDem itu.

Haji Syahrir memang telah pergi. Dalam durasi 70 tahun, ia telah membuktikan sekaligus membaktikan jiwa raganya untuk rakyat. Namun sekali lagi, goresan ini hendak menegaskan satu hal; Bahwa ajal itu selalu menghampiri manusia dalam dua jenis rupa. Boleh jadi datang dengan penuh kesiapsiagaan. Tapi ajal juga dapat menghampiri manusia tanpa harus memohon restu sebelumnya.

Ajal tak pernah mengenal kata kompromi terhadap siapapun yang dikejarnya. Ajal hanya bergerak memburu dan menanti setiap tarikan nafas manusia. Haji Syahrir menjadi contoh paling nyata. Kemana pun jasadnya dilarikan, ajal itu tetap saja membayanginya. Rupanya ajal almarhum itu menanti di Makassar, bukan di Mamuju.

Bagi kita yang masih hidup, pesan kematian adalah pelajaran paling radikal sepanjang peradaban manusia. Kematian membuat dunia ini semakin tampak datar. Tak ada beda antara punya jabatan ataupun tidak. Toh, segalanya bakal kembali pada muara yang sama; kembali kehadirat Ilahi.

Sekali lagi, dengan merujuk pada kepergian almarhum, jabatan itu ibarat hembusan angin semata yang datang silih berganti. Ia boleh saja datang menghampiri kita. Pun seketika dapat menghilang dalam sekejap. Dan kematian adalah cara Tuhan untuk mengajarkan betapa kehendak-Nya melebihi seluruh angan dan ambisi hamba-Nya. Selamat jalan Haji Syahrir…kami pun bakal menyusulmu, kelak.

(Telah diterbitkan di Harian Rakyat Sulbar)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa