Catatan dari Dialog Kebangsaan di Topoyo Mamuju Tengah (1)
Ada yang selalu unik setiap kali kata Nasionalisme itu dikemukakan dalam beragam forum formal maupun informal. Sisi unik itu acap kali tampak di tengah penampilan kusam dari sekujur wacana Nasionalisme itu sendiri. Untuk tak menyebut bahwa gagasan itu hanya sekadar pengulangan saja.
Ada yang selalu unik setiap kali kata Nasionalisme itu dikemukakan dalam beragam forum formal maupun informal. Sisi unik itu acap kali tampak di tengah penampilan kusam dari sekujur wacana Nasionalisme itu sendiri. Untuk tak menyebut bahwa gagasan itu hanya sekadar pengulangan saja.
Begitulah respon awal ketika gagasan ini kembali dibincangkan di Aula Kantor Camat Topoyo, pada Seminar Wawasan Kebangsaan dengan Tema Peran dan Partisipasi Pemuda dalam membangun semangat Nasionalisme, di Kabupaten Mamuju Tengah, Kamis 26 Juni 2014 lalu.
Dari setiap lontaran kata, amat terasa bahwa selama ini konsep Nasionalisme sedemikian menjulang ke langit kaum elit. Sebaliknya teramat jarang menjuntai ke bumi. Jangan heran ketika level grass root diajak untuk membicarakan hal ini, nyaris segalanya bakal direspon kaku. Toh, sejak awal, Nasionalisme hanya diajarkan dalam defenisi sederhana. Cinta tanah Air. Titik. Ini final, jangan dibicarakan lagi.
Dalam tinjauan epistemologi, nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah manusia. Paling tidak, dalam seratus tahun terakhir. Tak ada satu pun ruang sosial di muka bumi yang lepas dari pengaruh ideologi ini. Tanpa nasionalisme, lajur sejarah manusia akan berbeda sama sekali. (Sulfikar Amir; 2009).
Sebaliknya, narasi-narasi nasionalisme menjadi semakin intensif dalam berbagai interaksi dan transaksi sosial, politik, dan ekonomi internasional, baik di kalangan negara maju, seperti Amerika Serikat (khususnya pasca tragedi WTC), Jerman, dan Perancis. Maupun di kalangan negara Dunia Ketiga. Seperti India, China, Brasil, dan Indonesia.
Dalam studi semantik Guido Zernatto (1944), kata nation berasal dari kata Latin natio yang berakar pada kata nascor ’saya lahir’. Selama Kekaisaran Romawi, kata natio secara peyoratif dipakai untuk mengolok-olok orang asing. Beberapa ratus tahun kemudian pada Abad Pertengahan, kata nation digunakan sebagai nama kelompok pelajar asing di universitas-universitas.
Kata nation kemudian mendapat makna baru yang lebih positif dan menjadi umum dipakai setelah abad ke-18 di Prancis. Ketika itu Parlemen Revolusi Prancis menyebut diri mereka sebagai assemblee nationale yang menandai transformasi institusi politik tersebut. Dari sifat eksklusif yang hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan ke sifat egaliter di mana semua kelas meraih hak yang sama dengan kaum kelas elite dalam berpolitik. Dari sinilah makna kata nation menjadi seperti sekarang yang merujuk pada bangsa atau kelompok manusia yang menjadi penduduk resmi suatu negara.
Perkembangan nasionalisme sebagai sebuah konsep yang merepresentasikan sebuah politik bagaimana pun jauh lebih kompleks dari transformasi semantik yang mewakilinya. Begitu rumitnya pemahaman tentang nasionalisme membuat ilmuwan sekaliber Max Weber nyaris frustrasi ketika harus memberikan penjelasan sosiologis tentang fenomena nasionalisme.
Weber menunjukkan sikap pesimistis bahwa sebuah teori yang konsisten tentang nasionalisme dapat dibangun. Tidak adanya rujukan mapan yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami nasionalisme hanya akan menghasilkan kesia-siaan. Apa pun bentuk penjelasan tentang nasionalisme, baik dari dimensi kekerabatan biologis, etnisitas, bahasa, maupun nilai-nilai budaya, menurut Weber, hanya akan berujung pada pemahaman yang tidak komprehensif.
Kekhawatiran Weber ini wajar, mengingat komitmennya terhadap epistemologi modernisme yang mencari pengetahuan universal. Mungkin dengan alasan yang sama, dua Bapak ilmu sosial-Karl Marx dan Emile Durkheim-tidak menaruh perhatian serius pada isu nasionalisme. Walau tentu saja pemikiran mereka banyak mengilhami penjelasan tentang fenomena nasionalisme.
Pesimisme Weber mungkin benar. Namun, itu tak berarti nasionalisme harus disikapi secara taken for granted dan diletakkan jauh-jauh dari telaah teoretis. Besarnya implikasi nasionalisme dalam berbagai dimensi sosial mengundang para sarjana mencoba memahami sekaligus mencermati secara kritis konsep bangsa dan kebangsaan (nasionalisme), seberapa pun besarnya paradoks dan ambivalensi yang dikandungnya.
Andaikan nasionalisme sebuah gedung, setiap upaya mencari esensi nasionalisme berada di lantai yang berbeda-beda. Konsekuensinya, teorisasi nasionalisme sering bersifat partikular, tidak universal seperti yang diinginkan Weber. Namun, ini tidak menjadi masalah, khususnya dalam paradigma pasca modernisme ketika pengetahuan tak lagi monolitik dan homogen. Beragamnya pandangan justru akan memperkaya pemahaman manusia akan fenomena di sekelilingnya.
Komentar