Langsung ke konten utama

Berguru Nafas Ketulusan dari Filosofi Film India

Mengenal seorang Suraidah sebagai satu dari sekian banyak politisi perempuan tidaklah cukup. Ada banyak sisi unik yang patut diselami lebih dalam. Terlebih ketika dipertautkan dengan cara dia menerjang kehidupan.

Berulang kali perempuan beranak satu ini menegaskan: "Saya bukan anak Bupati. Tapi saya anaknya Pak Suhardi Duka". Penegasan itu hendak meruntuhkan bangunan nalar publik yang kerap menudingnya sebagai titisan anak biologis sekaligus Ideologis dengan kekuatan 'sulap' dari Ayahnya yang kini menjadi ketua DPD Partai Demokrat Sulbar.

Baginya, pemilahan ini sangat penting, agar tak ada pihak yang gagal tafsir dengan pilihan hidupnya terjun di dunia politik. Sitti Suraidah Suhardi, demikian nama lengkapnya, memandang pilihan hidup untuk terjun di gelanggang politik tidak diraihnya dengan cara-cara yang murah, apalagi murahan.

"Ini pilihan hidup saya untuk terjun di dunia politik. Saya juga bertarung memperebutkan suara di berbagai basis massa. Jadi bukan hal yang serba mudah untuk saya raih. Memang di awal karir saya, sempat membuat kaget. Kok saya harus jadi seperti ini. Saya kan perempuan. Cocoknya urusi rumah tangga saja," ujar Suraidah, caleg partai Demokrat Dapil 1 Mamuju ini, kepada Rakyat Sulbar.

Namun seiring dengan berlalu waktu, dirinya kembali berujar: "Sudah waktunya saya memantaskan diri sebagai wakil rakyat. Dan saya siap mengemban tugas itu". Pun ketika memegang tampuk sebagai ketua DPC Partai Demokrat Mamuju, ia tak henti-hentinya berusaha merangkul beragam opsi aktual dari berbagai sisi. Baik di internal partai, maupun selainnya.

Dengan begitu, poin pertama dari kesan perkenalan dengannya, adalah kesanggupan seorang Idha, sapaannya, membangun ruang dialog tanpa sekat ataupun topeng kepalsuan. Hasilnya? Sekali mengenal Suraidah, di sana bakal terpancar aura keceriaan sembari menebar senyum sebagai pintu utama dalam sebuah ritme komunikasi. Tak terkecuali dalam komunikasi politik.

Dari sini pula, perempuan berbintang Leo ini tampil dengan pesona yang membuyarkan kepenatan, mencairkan kebekuan, dan bukan mustahil, menggetarkan perasaan. Yang menarik, ia mencoba membangun kepribadiannya selaku politisi dengan berangkat dari ragam filosofi kehidupan. Dari pesan leluhur hingga aneka pesan bijak bercita rasa masa kini. Ketika ditanya tentang apa yang saat ini menjadi titik tumpuannya sekiranya dihadapkan pada berbagai pilihan-pilihan peristiwa? Atau ketika dihadapkan antara 'suara rakyat' dengan benturan kepentingan berbau politis yang kerap ambigu?

Jawabannya hanya satu. Bahwa seluruh lini kehidupan bakal memantulkan cahaya kearifan ketika dibangun dalam altar ketulusan mengabdikan diri bagi kehidupan. Adapun soal kalah dan menang, itu hanya efek yang tampak di alam kasat mata. Begitu pun dengan tugasnya sebagai wakil ketua DPRD Mamuju. Suraidah tak ingin muluk-muluk. Ketulusanlah yang menjadi benteng pertahanan jiwanya.

Darimana gugusan pesan ini diperolehnya? "Dari filosofi film India," jawabnya singkat.

Menyimak jawaban ini, pembaca tak perlu kaget. Ini bukan soal efek candu dari film-film karya Jash Choopra berdurasi panjang itu. Bukan juga soal tren bagi penggemar film berbau romantis. Singkat cerita, narasi yang dibangun dari negeri Mahatma Ghandi itu memberi pesan ketulusan, sebagai tonggak awal terbangunnya cinta.

Karakter Tani Patner dalam film Rab Ne Bana Ki Jodi yang diperankan Anushka Sharma dan Meera yang dilakonkan Katrina Kaif di film Jab Tak Hai Jaan menjelma dalam pesan ketulusan yang berdiri di antara palung cinta, tembok maut dan janji Tuhan.

Pesan keluhuran dan ketulusan itu mengalirkan jiwa kepasrahan positif. Ibarat air yang mengalir di tepian sungai gangga, ia terus memberi kehangatan dan kesahajaan bagi para pendamba. Jika pun harus menuai benturan, filosofi film India kembali hadir dengan pesan menggetarkan: Kita adalah musafir cinta, dan bertemu di ujung jalan. Maka sosok Suraidah pun sedang bermusafir menuju ujung jalan itu. Jalan ketulusan, jalan pengabdian, lalu berakhir di jalan penuh cinta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa