Langsung ke konten utama

Tanggung Jawab Tokoh Masyarakat, Jangan Berhenti...

Catatan di Balik Penolakan Proyek Pembangunan Embung Baruga Majene 6 (selesai)
 
Penolakan pembangunan Proyek Embung atau Waduk yang akan menggunakan anggaran sekira Rp12 Miliar itu kini kian menggantung. Ada dilema di dalamnya. Jika dipaksakan, warga bakal menolak. Jika tak direalisasikan, meniscayakan anggaran itu dikembalikan ke kas negara.

“Proyek ini kalau ditolak tanpa alasan masuk akal akan berdampak pada anggaran yang harus dikembalikan ke Negara. Bukan proyek Embung saja. Termasuk juga proyek lainnya,” ujanr anggota DPRD Majene, Adi Ahsan via telepon seluler, Minggu (24/5) lalu.

Bagi KH. Nur Husain, awal mula persoalan ini karena tidak ada sosialisasi sebelumnya. Jika diistilahkan, ini sama halnya dengan urusan ‘salah kamar’. Hendak melakukan yang terbaik, namun dengan cara-cara yang tak lazim. Warga pun kaget. 

“Tapi saya katakan, untuk urusan ini sebaiknya kita tanya langsung kepada masyarakat yang akan terkena dampak Embung itu. Karena kalau betul akan terlaksana proyeknya, berarti hilang pemukiman di situ. Hilang juga usahanya masyarakat,” kata KH. Nur Husain, mantan Ketua DPRD Majene ini.
 
Kendati masih mengalami kebuntuan komunikasi, KH. Nur Husain terus mendorong agar persoalan ini dapat dibicarakan sejernih mungkin. Jauh dari intrik pemaksaan, apalagi sampai harus memunculkan kesan teror terhadap warga. Dirinya menyarankan agar warga yang merasa kurang sependapat dengan rencana pemerintah dapat melalui jalur formal. Misalnya melalui jalur DPRD Majene. Sebab lembaga yang satu ini, menurutnya, masih memiliki taring yang kuat sebagaimana fungsinya sebagai wakil rakyat.
 
“Hanya saja, tolong kalau ketemu anggota DPRD, cari yang tahu bicara. Jangan sampai kehadirannya anggota dewan sama saja dengan ketidakhadirannya. Sebab tidak ada gunanya anggota Dewan kalau diam terus kerjanya. Persoalan ini mesti jernih didudukkan. Jangan langsung menolak, jangan juga arogan memaksakan supaya tetap jadi. Pokoknya harus ketemu baik-baik,” tegasnya.
 
Di samping itu, proyek pembangunan Embung juga perlu dipertimbangkan dengan matang. Sebab pembangunan sejenis ini bukanlah hal yang baru pertama kali terjadi di Baruga. “Saya juga sudah sampaikan ke Bupati bahwa waktu diambil air di Abaga kami di Baruga sudah kekurangan air. Kemudian diambil lagi ke Salabose, tambah kurang lagi debet air. Kalau ini mau lagi diambil, kami semakin kekurangan. Jadi tolonglah kiranya pemerintah bisa lebih bijak memahami kondisi kami di sini,” tambahnya.
 
Lepas dari adanya kebuntuan komunikasi itu, KH. Nur Husain juga menengarai adanya proses penyampaian informasi yang patah terkait proyek ini. Alias masih banyak menimbulkan tanda tanya. Baik dari Pemerintah ke masyarakat, maupun sebaliknya. Dari masyarakat ke Pemerintah.
 
“Kemungkinannya Bupati (Kalma Katta, red) tidak menerima informasi secara utuh. Pemilik proyek ini agaknya tidak transparan ke Bupati. Sehingga tidak tahu duduk persoalannya. Ini juga masalahnya karena ada oknum yang tampil ABS (Asal Bapak Senang, red) di depan Pak Kalma. Masalah ini seolah dianggap kecil padahal dampak sosialnya besar. Bisa jadi yang diuntungkan hanya pihak pelaksana proyek. Sementara yang dirugikan itu masyarakat dan pemerintah,” ungkapnya penuh tanya.
 
Kepada semua pihak yang berkepentingan dengan persoalan ini, tokoh masyarakat KH. Nasruddin Rahim meminta agar dapat diselesaikan lewat pintu dialog. “Saya memang pernah diinformasikan dalam sebuah acara oleh Wakil Bupati, Fahmi Massiara. Katanya akan ada pembangunan proyek Embung. Tapi seperti apa masuknya proyek ini kita tidak tahu. Makanya menurut saya, proses sosialisasi ini yang menjadi pokok permasalahannya. Sehingga masyarakat merasa terganggu. Apalagi karena orang yang datang langsung pasang patok tanpa permisi,” bebernya.
 
Anggota DPRD Majene, Adi Ahsan mengatakan, saat ini pembangunan Embung bukan lagi pada persoalan apakah proyek tersebut akan dilaksanakan atau tidak. Tapi sudah masuk ranah saling mengunci antar dua belah pihak. “Pemerintah dengan arogansinya membangun. Sementara masyarakat dengan kegengsiannya menolak. Ini memang karena ada langkah yang salah,” katanya.
 
Baginya, yang perlu diluruskan adalah penjelasan utuh menyeluruh bagi masyarakat setempat. Agar tak ada satu pun pihak yang merasa paling benar. “Kalau begini terus keadaannya, akhirnya ruh pembangunan itu kemudian tertinggalkan. Bukan lagi hal yang dibicarakan. Pokoknya jangan dibangun, kami menolak. Itu yang jadi masalah,” tambahnya.
 
Ia menyarankan agar tokoh masyarakat Baruga turut aktif menengahi permasalahan ini. Tak cukup jika ketokohan yang dimiliki hanya terpasung dalam tutur yang membeku. Apalagi hanya menanti isyarat alam semata. “Tokoh masyarakat semestinya ikut terlibat aktif memfasilitasi. Kalau perlu tokoh masyarakat yang ikut terlibat membuat opsi alternatif. Dapat juga melalui perjanjian dengan pemerintah dan pelaksana proyek. Kalau perlu, buatkan akte notaris,” kuncinya.
 
Terakhir, jika ditarik permasalahan ini lebih reflektif, proyek Embung Baruga sesungguhnya menjadi isyarat alam bagi warga setempat untuk membuka ruang. Agar tak lagi mengisolasi diri dalam sikap sosial yang cenderung kaku. Tugas tokoh masyarakat sangat penting untuk mengurai kembali seperti apa pergeseran zaman para generasinya.
 
Sementara tugas generasi muda penting untuk menguliti seluruh dimensi kehidupan. Termasuk merefleksikan ruang pembeda antara makna ke-aku-an dan ke-‘kita’-an. Adapun kepada pemerintah, pahamilah!!! Ini merupakan isyarat betapa pentingnya seorang pemimpin untuk menata model kepemimpinan agar tak terlampau berjarak dengan rakyatnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa