Catatan dari Dialog Kebangsaan di Topoyo Mamuju Tengah (2)
Membangun epistemologi nasionalisme berawal dari dua pertanyaan fundamental. Pada titik sejarah mana fenomena nasionalisme muncul dan apa yang menjadi materi dasar pembentuknya? Satu pendekatan yang digunakan beberapa sarjana menjawab pertanyaan ini adalah dengan melacak jejak-jejak etnik suatu bangsa ke masa sebelum nasionalisme berbentuk seperti sekarang.
Membangun epistemologi nasionalisme berawal dari dua pertanyaan fundamental. Pada titik sejarah mana fenomena nasionalisme muncul dan apa yang menjadi materi dasar pembentuknya? Satu pendekatan yang digunakan beberapa sarjana menjawab pertanyaan ini adalah dengan melacak jejak-jejak etnik suatu bangsa ke masa sebelum nasionalisme berbentuk seperti sekarang.
Jejak-jejak etnik itu dalam paparan Radhar Panca Dahana (2013) disimpulkan dalam sebutan Identitas Adab Maritim. Bentuk hubungan itu meniscayakan sifat-sifat utama dari peradaban maritim. Yakni, keterbukaan, egalitarianisme, kebebasan fakultatif, dan proses akulturasi yang luwes dan dinamis sebagai bahan dasar terbentuknya masyarakat atau bangsa yang plural serta multikultural.
Bila realitas arkeologis dan primordial dipahami dan dijalani secara teguh dan intens, maka problem yang menciptakan konflik abadi di negara-negara dengan peradaban kontinental seharusnya tidak terjadi di Negeri ini. Sebab pada dasarnya, semua adat dan tradisi di negeri ini memiliki satu identias kultural yang sama, kemudian melahirkan sifat-sifat peradaban.
Identitas peradaban itu bermula dari cara manusia melihat realitas dirinya sendiri (aku) dan akhirnya melihat diri orang lain (kamu); diri sebagai sebuah kelompok (komunitas) hingga diri sebagai sebuah bangsa. Artinya, secara primordial, kita adalah manusia yang sanhgat sadar dan mengakui bahwa “Aku ada karena Kamu ada”. Nilai-nilai kesamaan itulah yang menciptakan kesatuan sosial, naluri bermasyarakat, dan insting gotong-royong. Sehingga tak ada identitas budaya yang dapat menilai diri sebagai ‘paling otoritatif’.
Dalam argumen Smith, ethnie merupakan sumber inspirasi yang mendefinisikan batas-batas budaya yang memisahkan satu bangsa dengan bangsa lain seperti sekarang. Implikasi titik pandang ini adalah bahwa nasionalisme lebih merupakan sebuah fenomena budaya daripada fenomena politik. Karena dia berakar pada etnisitas dan budaya pra modern. Pada sudut pandang ini, gerakan politik nasionalisme adalah sarana mendapatkan kembali harga diri etnik sebagai modal dasar dalam membangun sebuah negara berdasarkan kesamaan budaya (John Hutchinson, 1987).
Perspektif etnonasionalisme yang membuka wacana tentang asal-muasal nasionalisme berdasarkan hubungan kekerabatan dan kesamaan budaya bagaimanapun tak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan. Khususnya jika kita mengamati batas-batas bangsa yang terbentuk dalam masyarakat kontemporer. Yang ditawarkan oleh pendekatan etnonasionalis dapat dipakai untuk mengamati fenomena nasionalisme di negara monokultur.
Namun, penjelasan yang sama tidak berlaku sepenuhnya ketika dipakai untuk menjelaskan nasionalisme bangsa multikultural. Tentu saja di bangsa multikultural ini ada dominasi etnik atau ras tertentu yang pada tingkat tertentu menjadi sumber utama inspirasi nasionalisme. Namun, itu tak berarti bangunan nasionalisme menjadi homogen karena fondasi nasionalisme juga ditopang oleh ikatan-ikatan non etnik.
Komentar