Langsung ke konten utama

Maldini, Dari Syndrom ke Ideologi

Tiba-tiba Sulbar bertepuk tangan. Tanda gembira yang mengharu biru. Mengapa? Di bumi yang membentang dari Paku hingga Suremana ini telah terlahir seorang bocah yang kini kerap tampil di layar kaca. Maldini namanya. Anak remaja ini kian ramai diperbincangkan, utamanya saat tampil di medan laga sebagai salah seorang atlit Timnas Sepakbola U-19.

Maldini kini bak artis yang dielu-elukan. Saat tampil melawan Korea, Maldini disorot oleh ribuan tatapan mata penggemarnya. Dia benar-benar telah menjadi bintang. Sebuah kenyataan yang mungkin saja tak pernah diimpikan sebelumnya.

Terlebih ketika Maldini didaratkan di Bandara Tampapadang. Segera, keluarga, kolega dan penggemarnya berada dalam barisan yang sama. Mereka menjelmakan diri sebagai fans fanatik Maldini.

Pemerintah pun tak ingin ketinggalan memberi apresiasi. Rp. 680 juta diberikan sebagai tanda terima kasih atas prestasinya mengharumkan nama Sulbar. Jadilah warga Mamuju sebagai pengidap syndrom Maldini, atau pun Maldinisme. Mereka saling mencurahkan isi cerita satu sama lain. Dan tentu saja tema besarnya ada pada cerita Sang Bintang, Maldini.

Sungguh fenomena Maldinisme bukanlah hal mengejutkan di era pos modern ini. Jika di era sebelumnya, pertautan itu dicetuskan dari benturan gagasan yang serba berisi, jadilah sebuah perkumpulan yang menciptakan idealisme dan militansi. Maka wajar, jika rumusan pembicaraan tetap dibubuhi lanskap konseptual dari berbagai penjuru perspektif.

Namun kini wujudnya kian berbeda. Pertautan itu makin jauh dari pusaran semangat kebangsaan. Di masa kini, perbedaan bukan hanya muncul, tapi juga dimunculkan. Tak sekedar beda, tapi ingin tampil berbeda. Eksistensi manusia masa kini sangat ditentukan oleh kekuatannya dalam menciptakan seribu satu macam alat pembeda.

Sayangnya, semangat tampil beda itu tak terlalu kuat menerjang badai. Pun budaya instan teramat menguasai. Tengoklah bagaimana komunitas itu diciptakan hari ini. Hampir seluruhnya terbangun dalam pondasi yang serba rapuh. Niatnya ingin menjalin persatuan, namun nyatanya seketika ambruk hanya karena urusan sepele. Singkatnya, sekali diterpa ujian, seketika itu pula hancur berkeping-keping.

Tak heran jika serpihan-serpihan itu maujud dalam mentalitas generasi masa kini. Gagasan kerap dimentahkan hanya karena ambisi aktualisasi diri. Semangat merawat komunitas dicerai-beraikan tanpa pertanggungjawaban moril di sana-sini. Dari sini pula, suara atas nama rakyat dibanting, diporak-porandakan kehormatannya.

Sekali lagi, kenyataan ini sedang menggejala di mana-mana. Tak peduli ruang dan waktu. Tak pusing dari kalangan mana syndrom itu harus disemaikan. Jika pun hari ini sedang menggejala syndrom Maldini, percayalah ini hanya sebuah fanatisme semu yang bakal pudar sembari menanti titik jenuh para penggemarnya. Atau ketika ada syndrom lain yang lebih menggemaskan para pemirsa.

Bagi Maldini, tentu bukan masalah serius. Sebab dari awal memang tak pernah mengimpikannya. Namun yang jadi soal, ketika syndrom ini datang dalam rupa yang berbeda-beda, akan bagaimanakah nasib generasi ke depan. Kehidupannya bak dedaunan yang bergerak melambai mengikuti arah angin saja. Tanpa kehendak kuat untuk menggerakkan amanat kehidupannya. Seluruhnya hanya bersandar pada kekagetan, kegenitan dan trending topic saja.

Agaknya kita harus menjulurkan pandangan ke Argentina, kota yang membesarkan nama Diego Maradona. Sang legenda sepakbola bertangan setan. Di negara Amerika Latin itu, dunia sepak bola tak dilihatnya dalam sudut pandang pertandingan kalah menang belaka. Atau pun sekedar proyek ambisi hattrick dan scudetto. Lebih dari itu, sepak bola telah menjadi kiblat kehidupan mereka. Sepakbola telah menjadi 'agama' di Argentina.

Lalu apa yang menarik dari sana? Ialah kesanggupannya menciptakan karakter generasi sepakbola yang di samping piawai mencetak gol. Tapi juga lincah menggoreng, mempertontonkan gaya permainan yang cantik hingga ke bibir gawang. Dari permainan yang serba lincah itulah, terlahir filosofi bagi bangsanya.

Bahwa hidup yang baik itu mesti memunculkan sikap tega untuk mencampakkan ambisi pribadi. Kehidupan yang baik itu meniscayakan untuk membunuh ego (ambisi) personal agar tak mengundang petaka apalagi kutukan alam semesta.

Kehidupan yang baik itu ditandai dengan kesiapan saling menjaga ritme kepentingan. Sebagaimana layaknya sang pemain bola yang sangat piawai merawat nafas agar tetap terjaga hingga akhir laga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui