Berita tentang derita bocah bernama Akbar dan keluarganya sontak menjadi perhatian harian Rakyat Sulbar. Koran Politik ini tampak mengencangkan arus isu dari sisi kelam kehidupan sebuah keluarga di Majene.
Penulis lalu teringat pada perdebatan atas konstruksi media terhadap sebuah isu sensitif human interest. Adalah seorang Saiful Totona dalam buku "Miskin itu Menjual; Representasi Kemiskinan sebagai Komodifikasi Tontonan (2010)" merupakan satu di antara kritikus yang menyorot cara kerja media dalam menangkap setiap momentum kenestapaan. Sebab rupanya, media kerap dituduh gandrung menyeret ihwal biasa menjadi luar biasa.
Pun dengan kemiskinan, kerap dinobatkan sepihak bahwa media membenamkan potret kemiskinan di benak publik dengan sedemikian canggihnya. Sementara di saat yang sama, kemiskinan itu sendiri dicipta sebagai modal kapital untuk menciptakan pasar baru dari segmentasi publik yang saling bertemu pada muara empati yang sama. Jadilah kemiskinan itu ditampakkan dalam wujud yang semiris mungkin. Adapun soal celah menepisnya, itu lain ceritanya.
Begitulah saat potret derita dihamparkan dalam narasi berita. Tapi ini soal wacana yang mencoba menjernihkan corak pandang kita terhadap dimensi kemiskinan yang hingga kini belum tertangani dengan baik.
Tak cukup jika hanya menggunakan alat bedah dengan kaidah jurnalistik konvensional. Sebab untuk konteks derita Akbar, empati itu mestilah didesakkan hingga tak ada jeda untuk berkata nanti alias menunda.
Di sini, bukan tempatnya untuk mendebat soal narasi yang dibuat semelarat mungkin. Tapi ini soal kemanusiaan yang tak etis jika masih saja terus diperdebatkan sebatas konstruksi media. Sementara wajah kemiskinan Akbar dan keluarganya begitu terbuka lebar untuk menjadi perhatian bersama.
Derita yang terkuak dalam berita itu mestilah memicu adrenalin kepedulian untuk memboyong kepiluan itu sebagai bagian dari tanggung jawab bersama. Tak cukup jika hanya menyahutinya dalam tindakan yang serba tiba-tiba dan apa adanya.
Karenanya, Rumah tangga Suni mesti disorot lebih tajam lagi sebagai aib bersama. Bahwa kita malu menyandang Provinsi Sulbar yang maju dan malaqbi. Sementara ada sejumlah rumah tangga yang hari ini luput dari ingatan para elit.
Beberapa tahun sebelumnya, kita mengenang Kambacong (Polman), Sinar (Polman) dan penderita Hydrosephalus Sepnimar (Kalumpang). Ketiganya tak hanya berjuang melawan sakit. Tapi lebih dari itu, mereka juga berjibaku menghadang kemiskinan yang begitu akrab dalam kehidupan mereka.
Lalu hari ini, kita kembali dipertemukan dengan Suni, Akbar dan Kakaknya. Juga dengan penampakan yang sama; kemiskinan. Adakah ini bakal disebut sebatas cerita minus fakta? Ataukah masih harus menanti gumpalan kenestapaan lainnya?
Kini waktunya belajar pada seekor merpati yang terbang di atas kobaran api Namrudz saat merencanakan pembakaran terhadap Nabi Ibrahim AS. Merpati itu terbang bersama buliran air. Ia sesungguhnya percaya bahwa tetesan air yang dibawanya itu takkan mampu memadamkan kobaran api.
Tapi dalam segenap upayanya, merpati itu hendak menjejakkan catatan hidupnya agar disertakan sebagai kelompok penolong Ibrahim AS kelak di sisi Tuhan. Adakah di antara kita yang sedang terbang bak merpati itu? Lalu meneteskan setitik kebahagiaan bagi kehidupan Akbar dan keluarganya?
(Telah Diterbitkan di Harian Rakyat Sulbar)
Penulis lalu teringat pada perdebatan atas konstruksi media terhadap sebuah isu sensitif human interest. Adalah seorang Saiful Totona dalam buku "Miskin itu Menjual; Representasi Kemiskinan sebagai Komodifikasi Tontonan (2010)" merupakan satu di antara kritikus yang menyorot cara kerja media dalam menangkap setiap momentum kenestapaan. Sebab rupanya, media kerap dituduh gandrung menyeret ihwal biasa menjadi luar biasa.
Pun dengan kemiskinan, kerap dinobatkan sepihak bahwa media membenamkan potret kemiskinan di benak publik dengan sedemikian canggihnya. Sementara di saat yang sama, kemiskinan itu sendiri dicipta sebagai modal kapital untuk menciptakan pasar baru dari segmentasi publik yang saling bertemu pada muara empati yang sama. Jadilah kemiskinan itu ditampakkan dalam wujud yang semiris mungkin. Adapun soal celah menepisnya, itu lain ceritanya.
Begitulah saat potret derita dihamparkan dalam narasi berita. Tapi ini soal wacana yang mencoba menjernihkan corak pandang kita terhadap dimensi kemiskinan yang hingga kini belum tertangani dengan baik.
Tak cukup jika hanya menggunakan alat bedah dengan kaidah jurnalistik konvensional. Sebab untuk konteks derita Akbar, empati itu mestilah didesakkan hingga tak ada jeda untuk berkata nanti alias menunda.
Di sini, bukan tempatnya untuk mendebat soal narasi yang dibuat semelarat mungkin. Tapi ini soal kemanusiaan yang tak etis jika masih saja terus diperdebatkan sebatas konstruksi media. Sementara wajah kemiskinan Akbar dan keluarganya begitu terbuka lebar untuk menjadi perhatian bersama.
Derita yang terkuak dalam berita itu mestilah memicu adrenalin kepedulian untuk memboyong kepiluan itu sebagai bagian dari tanggung jawab bersama. Tak cukup jika hanya menyahutinya dalam tindakan yang serba tiba-tiba dan apa adanya.
Karenanya, Rumah tangga Suni mesti disorot lebih tajam lagi sebagai aib bersama. Bahwa kita malu menyandang Provinsi Sulbar yang maju dan malaqbi. Sementara ada sejumlah rumah tangga yang hari ini luput dari ingatan para elit.
Beberapa tahun sebelumnya, kita mengenang Kambacong (Polman), Sinar (Polman) dan penderita Hydrosephalus Sepnimar (Kalumpang). Ketiganya tak hanya berjuang melawan sakit. Tapi lebih dari itu, mereka juga berjibaku menghadang kemiskinan yang begitu akrab dalam kehidupan mereka.
Lalu hari ini, kita kembali dipertemukan dengan Suni, Akbar dan Kakaknya. Juga dengan penampakan yang sama; kemiskinan. Adakah ini bakal disebut sebatas cerita minus fakta? Ataukah masih harus menanti gumpalan kenestapaan lainnya?
Kini waktunya belajar pada seekor merpati yang terbang di atas kobaran api Namrudz saat merencanakan pembakaran terhadap Nabi Ibrahim AS. Merpati itu terbang bersama buliran air. Ia sesungguhnya percaya bahwa tetesan air yang dibawanya itu takkan mampu memadamkan kobaran api.
Tapi dalam segenap upayanya, merpati itu hendak menjejakkan catatan hidupnya agar disertakan sebagai kelompok penolong Ibrahim AS kelak di sisi Tuhan. Adakah di antara kita yang sedang terbang bak merpati itu? Lalu meneteskan setitik kebahagiaan bagi kehidupan Akbar dan keluarganya?
(Telah Diterbitkan di Harian Rakyat Sulbar)
Komentar