Langsung ke konten utama

Jangan Lagi Ajarkan Agama

Catatan Dialog Wawasan Kebangsaan (Bag II-selesai)

Jika dirunut dalam tarikan hingga ke hulu, problem utama munculnya radikalisme mengatasnamakan agama itu dimulai dengan penyemaian ajaran yang tak menempatkan dimensi ruang dan waktu sebagai bagian tak terpisahkan atas tafsir agama itu sendiri.

Dalam dialog yang digagas harian Rakyat Sulbar bekerjasama dengan KNPI Majene terungkap bahwa dunia pendidikan saat memerlukan proses babat ulang atas materi ajaran agama yang disajikan. Dalam diskusi itu, keluhan atas durasi mata pelajaran agama lagi-lagi disesali. Itu dalam perspektif kuantitatif. Lalu dalam dimensi kualitatif, tersodorkan agar terjadi "penyusupan" pesan agama pada seluruh bidang studi yang diajarkan.

Namun itu lagi-lagi bukalah solusi yang mampu menjawab problem. Mengapa? Ada hambatan sumber daya manusia yang pasokannya sangat minim ketika berbicara soal agama. Bahkan bagi mereka yang bergelar sarjana agama sekalipun, tampaknya perlu proses revitalisasi atas agama yang dipahaminya selama ini.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Majene, KH. Nur Husain tak tanggung-tanggung menyerukan agar agama ke depan tak lagi diajarkan. "Sejak awal saya sampaikan bahwa agama itu jangan diajarkan. Tapi ditanamkan. Apa artinya? Bahwa agama hanya akan tegak bersama nilai dan keluhurannya selama disemaikan lewat keteladanan," katanya.

Di titik inilah, ujar pria kelahiran 10 Oktober 1945 ini bahwa menyampaikan ide itu tidak dibenarkan menggunakan kekerasan. Dengan ragam alasan pembenaran apapun. "Kalau terjadi antara dua pihak yg tidak sopan, ini pasti bukan ajaran agama. Karena Agama itu memberikan kegembiraan," tegasnya.

Konsep jihad misalnya, selama ini dimaknai dalam pengertian perang dan pertumpahan darah saja. Padahal, tak cukup jika sekadar itu. Sebab dalam konsep jihad terdapat pesan yang lebih dalam dari makna perang itu sendiri.

Sementara itu, ketua KNPI Majene, Surakhmat dalam paparannya menyampaikan, posisi Pemuda memang menjadi sasaran empuk gerakan radikalisme. Alasannya sederhana, karena ada fase puncak Idealisme dalam sanubari kaum muda. "Di usia itu, idealisme bukan hanya penting diwujudkan. Tapi harus diwujudkan ditegakkan setegak-tegaknya. Dengan kekerasan sekalipun," jelasnya.

Kata Surakhmat, Radikalisme muncul karena realitas yang diamatinya dianggap tak benar. Mereka cenderung destruktif dan anti dialog. "Kenapa dapat muncul? Ada sistem sosial yang dianggap belum ideal. Ini akan mendapat legitimasi yang kuat jika dibarengi dengan teks kitab suci. Muncullah megalomania," sebutnya.

Karena itu, katanya, ke depan pemuda tak boleh tertutup dengan ragam kajian. Untuk tak menyebutnya sebagai pesan biasa, di akhir catatan ini, penulis menegaskan, radikalisme akan terus mengejar titik-titik sublim dalam gerakannya, ketika mekanisme penyerapan pengetahuan, khususnya agama, tak dibenahi dengan baik.

Sehingga, tugas ke depan, dimensi pendidikan seharusnya sudah diarahkan pada semangat menjaring keteladanan kaum pendidik. Sementara di lingkar kekuasaan, agama mesti terus ditampakkan dalam wujudnya yang mengedepankan azas keadilan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui