Setiap zaman memiliki tokoh berpengaruh. Sebagaimana halnya setiap kehadiran tokoh juga tak lepas dari 'kecocokan' zaman yang dihadapinya. Ini bukan dalam pahaman sebagai pakem yang tak tersentuh wilayah rasio. Atau sekadar menyatakan bahwa ini sudah menjadi isyarat alam (saja). Melainkan bagaimana sisi ideal tokoh berpengaruh itu mampu memerankan diri dengan cara-cara yang tepat.
Sekujur tubuh tulisan ini menegaskan terma Pembesar sebagai pilihan paling akrab untuk memahami bagaimana pengaruh ketokohan sang politisi.
Mula-mula seorang pembesar hadir dalam sebuah kumpulan yang seirama dalam ide maupun gagasan dengan orang lain. Mereka punya cita-cita besar merebut kekuasaan sembari menyiapkan segala ihwal pelengkapnya.
Di sini jiwa dan semangat egaliter dihembuskan sebagai nafas bersama. Narasi perjuangan hingga suka duka yang melingkupinya terus disuarakan agar makin menggerus badai simpati dari segala penjuru.
Membayangkan akan satu hal ini, kita akan terbawa pada kesimpulan bahwa peran ketokohan aktor sungguh sangat diperlukan. Sebab di tangannyalah, segala embrio gesekan harus dituntaskan sedemikian rupa. Tanpa memunculkan masalah baru; atau pun konflik baru.
Tapi, energi itu tak selamanya bertahan dalam waktu yang terlampau lama. Bayang-bayang kehancuran para pembesar justru kerap muncul di saat kekuasaan itu telah menjadi bagian dari kehidupannya. Lebih memiriskan, jika titik kehancuran itu ternyata lahir dari dalam kekuatan yang selama ini dirajutnya. Bukan dari lawan yang terus-menerus diawasinya. Seperti itulah gambaran umum bagaimana para pembesar suatu negeri harus tumbang dalam narasi sebab-musabab yang sulit dipercayai.
Sejarah telah membuktikan kekuatiran itu. Betapa banyak para pembesar/pemimpin dikenal sebagai figur tangguh tak tertandingi. Namun di saat yang sama, kita pun menyimak kabar bahwa ketangguhan itu rupanya sangat rapuh. Toh, yang merusak seluruh tatanan angan-angan kekuasaan selama ini ternyata bukan dari pihak lawan ataupun orang lain. Justru, sang Pembesar kerap mengakhiri kejayaan dikarenakan orang-orang terdekatnya yang terlampau awam memahami tanda-tanda zaman.
Faktor kemapanan yang terlalu lama mendekam bisa menjadi rumusan awal untuk memahami mengapa banyak pihak begitu mudah terperanjat melakukan tindakan yang tak wajar, tak lazim, serta jauh dari bingkai tata krama. Sikap merasa telah memiliki segala hal, hingga anggapan mampu membeli segala hal telah memicu makin mudahnya 'jaringan A1' untuk menyandang predikat duri dalam daging.
Saya tak hendak menyimpulkan bahwa seperti inilah model siklus kekuasaan itu bergulir. Kerena yang lebih penting adalah perlunya para pembesar menyadari bahwa kebesaran yang dimiliki saat ini sedang berada dalam ancaman seribu bayangan. Dan itu lebih banyak berawal dari kesalahan orang-orang terdekatnya dalam memaknai bagaimana zaman itu bergerak dinamis.
Kepada siapapun yang turut dalam lingkaran itu, hunjamkanlah dalam batin bahwa anda bukan bagian dari sebab-musabab tumbangnya ketokohan orang yang selama ini anda banggakan !!!
Sekujur tubuh tulisan ini menegaskan terma Pembesar sebagai pilihan paling akrab untuk memahami bagaimana pengaruh ketokohan sang politisi.
Mula-mula seorang pembesar hadir dalam sebuah kumpulan yang seirama dalam ide maupun gagasan dengan orang lain. Mereka punya cita-cita besar merebut kekuasaan sembari menyiapkan segala ihwal pelengkapnya.
Di sini jiwa dan semangat egaliter dihembuskan sebagai nafas bersama. Narasi perjuangan hingga suka duka yang melingkupinya terus disuarakan agar makin menggerus badai simpati dari segala penjuru.
Membayangkan akan satu hal ini, kita akan terbawa pada kesimpulan bahwa peran ketokohan aktor sungguh sangat diperlukan. Sebab di tangannyalah, segala embrio gesekan harus dituntaskan sedemikian rupa. Tanpa memunculkan masalah baru; atau pun konflik baru.
Tapi, energi itu tak selamanya bertahan dalam waktu yang terlampau lama. Bayang-bayang kehancuran para pembesar justru kerap muncul di saat kekuasaan itu telah menjadi bagian dari kehidupannya. Lebih memiriskan, jika titik kehancuran itu ternyata lahir dari dalam kekuatan yang selama ini dirajutnya. Bukan dari lawan yang terus-menerus diawasinya. Seperti itulah gambaran umum bagaimana para pembesar suatu negeri harus tumbang dalam narasi sebab-musabab yang sulit dipercayai.
Sejarah telah membuktikan kekuatiran itu. Betapa banyak para pembesar/pemimpin dikenal sebagai figur tangguh tak tertandingi. Namun di saat yang sama, kita pun menyimak kabar bahwa ketangguhan itu rupanya sangat rapuh. Toh, yang merusak seluruh tatanan angan-angan kekuasaan selama ini ternyata bukan dari pihak lawan ataupun orang lain. Justru, sang Pembesar kerap mengakhiri kejayaan dikarenakan orang-orang terdekatnya yang terlampau awam memahami tanda-tanda zaman.
Faktor kemapanan yang terlalu lama mendekam bisa menjadi rumusan awal untuk memahami mengapa banyak pihak begitu mudah terperanjat melakukan tindakan yang tak wajar, tak lazim, serta jauh dari bingkai tata krama. Sikap merasa telah memiliki segala hal, hingga anggapan mampu membeli segala hal telah memicu makin mudahnya 'jaringan A1' untuk menyandang predikat duri dalam daging.
Saya tak hendak menyimpulkan bahwa seperti inilah model siklus kekuasaan itu bergulir. Kerena yang lebih penting adalah perlunya para pembesar menyadari bahwa kebesaran yang dimiliki saat ini sedang berada dalam ancaman seribu bayangan. Dan itu lebih banyak berawal dari kesalahan orang-orang terdekatnya dalam memaknai bagaimana zaman itu bergerak dinamis.
Kepada siapapun yang turut dalam lingkaran itu, hunjamkanlah dalam batin bahwa anda bukan bagian dari sebab-musabab tumbangnya ketokohan orang yang selama ini anda banggakan !!!
Komentar