Langsung ke konten utama

1,2T

Pasca kedatangan Presiden RI Joko Widodo di Sulawesi Barat ternyata cukup memberi arti penting akan banyak hal. Kelaziman-kelaziman yang selama ini dipertontonkan oleh para pejabat tersulap habis, tergantikan dengan tampilan serba sederhana. Tak ada penyambutan mewah maupun kendaraan mewah yang terlintas hari itu. Semuanya melebur dalam satu isyarat ala Jokowi; kinerja lebih penting dari sekedar retorika belaka.

Presiden ketujuh ini juga hadir dengan kabar segar. Kucuran dana untuk menyokong program Gernas Kakao dilontarkan dengan jumlah yang sangat bombastis. Sebanyak Rp1,2 triliun rencananya akan ‘ditransfer’ oleh pemerintah, khusus untuk mempercepat program Gernas Kakao. 
Dengan sokongan yang sangat besar itu, harapannya tentu agar tak lagi terdengar bahwa pemerintah hanya menggoreskan rencana tanpa ditopang oleh kebijakan anggaran yang nyata.

Mendahului seluruh kegirangan itu, kita mesti benar-benar berpikir lapang untuk mendudukkan ‘marwah’ Rp1,2 Triliun ini pada urgensi mendasarnya. Bahwa filosofi yang hendak dibangun oleh pemerintah di pusat benar-benar berkeinginan kuat menggeser paradigma penggelontoran anggaran yang cukup besar itu. 

Ketika formulasi anggaran yang selama ini dituduh sangat sentralistik dan hanya berputar di Ibukota Negara, kini telah bergerak ke tepian untuk membagikannya ke tiap-tiap daerah sesuai dengan tingkat kebutuhan masing-masing.

Maka pertanyaan penting saat ini adalah, sanggupkah penyelenggara pemerintah di tingkat daerah menerjemahkan kepentingan rakyat dengan sebenar-benarnya? Atau ini bakal menjadi babak baru untuk semakin memuluskan para pejabat di daerah terjaring dalam lingkaran korupsi dan tipu muslihat anggaran?

Dengan belajar pada beragam fakta terhadap sistem pengelolaan anggaran selama ini, tampaknya sangat kecil nafas optimisme publik untuk mempercayai bahwa anggaran tersebut bakal tersalur pada jalur dan lajur yang sebenarnya. Pembangunan pabrik Kakao dan SMK Kakao yang hingga kini tak jelas juntrungannya menjadi dalil sahih bahwa anggaran besar tak selamanya punya manfaat besar pula.

Di sinilah arti penting sebuah ketegasan seorang pemimpin dalam menyelenggarakan sistem birokrasi yang mampu menerjemahkan pola distribusi anggaran yang tepat sasaran. Tidak justeru menumpuk pada program yang terlampau abal-abal. Sinergitas antar penyelenggara pemerintahan hendaknya tak menjadi kamuflase yang dipertontonkan dalam dramaturgi politik. Tapi mesti digerakkan dalam sistem perencanaan yang saling menopang satu sama lain.

Dalam konteks Sulawesi Barat, pemerintah Provinsi maupun Kabupaten kerap saling menuding bahwa apa yang diprogramkan selama ini tak punya korelasi yang pas. Ketika itu terjadi, ini sekaligus sebagai gambaran bahwa program yang selama ini berjalan memang sangat erat kaitannya dengan ego sektoral masing-masing. 

Pemerintah Kabupaten menganggap program dari Provinsi tak punya titik singgung dengan kebutuhan Kabupaten. Sementara pemerintah Provinsi juga tampil dengan klaim yang menganggap Pemerintah Kabupaten tak punya itikad baik untuk menyambungkan ritme koordinasi. Akhirnya, rakyat harus kembali menggerutu dalam kekesalan dan ketidakpercayaan.

Maka dengan kesadaran inilah, catatan penting atas kebijakan Presiden menggelontorkan anggaran besar itu sepatutnya disahuti dengan pola perencanaan yang tepat sasaran. Sebelum kucuran dana itu benar-benar mendarat di Sulbar, pemerintah sepatutnya telah memiliki rancang bangun yang pas dengan kebutuhan para petani. Artinya, dana sebesar Rp1,2 T itu mesti benar-benar terasa manfaatnya bagi Rakyat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa