Langsung ke konten utama

Mengenal Zona Sengketa Politik di Sulbar

Catatan dari Rakor Pengawas Pemilu 2014 se-Sulbar (II selesai) 

Fokus pada Sengketa pemilu 9 April 2014 jelas merupakan sebuah keniscayaan. Di tengah tampilan wajah demokrasi yang masih mengedepankan sisi transaksi, kualitas pemilu menjadi taruhannya. 

Untuk Sulawesi Barat, seluruh Kabupaten memiliki tipikal potensi pelanggaran yang berbeda-beda. Di Kabupaten Polewali Mandar misalnya, Kecamatan Matangnga, Tutar dan Alu merupakan zona potensi pelanggaran pemilu. "Faktor utamanya karena akses ke wilayah tersebut tidak mudah," ucap Ketua Panwas Polman, Murtaji Anwar.

Hal serupa terjadi di Kabupaten Mamasa. Ketua Panwas Mamasa, Samuel menuturkan, Kecamayan Mambi, Tabang dan Mehalaan dianggap cukup urgen diawasi lebih khusus. "Detailnya, ada 55 Desa yang perlu diberi perhatian khusus. Karena di sana itu, setiap pemilu, surat suara selalu habis. Dan itu tidak masuk akal," jelasnya.
 
Selain terkendala akses transportasi, kelengkapan bagi awak pengawas juga perlu menjadi perhatian bersama. "Kami di Matra membutuhkan semacam Identitas. Sekalipun ini nantinya tak ada honor," kata Ketua Panwas Matra, Nasrul Nasir.
 
Untuk hal itu semua, diperlukan strategi khusus agar tak berjalan liar. Sesuai dengan prinsip membangun pemilu berkualitas ditambah dengan pola prefentif. Salah satu upaya menuju target tersebut adalah dengan menguatkan insting politik awak pemilu untuk terus memantau lalu lintas anggaran. Apakah murni anggaran prihadi para caleg. Ataukah justeru diperas dari dana siluman APBD.


"Kita sedang memantau modus pelangggaran pemilu seperti penggunaan APBD. Apalagi di sektor pertanian dan perikanan," beber Usman, Ketua Panwas Majene.
 
Khusus di Majene, katanya, sisi pelanggaran pemilu juga dapat dilihat dengan munculnya sejumlah oknum yang memanfaatkan kepemilikan tanah. Wal hasil, siapa pun yang punya kepentingan politik, pemanfaatan atas hak tanah sedemikian sensitif terjadi di tengah-tengah warga. Jika hal ini terjadi, bukan mustahil bakal menjadi sengketa horizontal yang berkepanjangan.

Menurut Usman, pengenalan terhadap modus pelanggaran pemilu sangat penting. Tak cukup jika sekedar berangkat dari payung hukum semata. Dibutuhkan strategi jitu untuk membidik satu demi satu celah yang membuka tabir pelanggaran. "Salah satu pola yang kami lakukan adalah mengawali perkembangan politik lewat media. Dari situ, kita memetakan seperti pola-pola yang bakal terjadi di lapangan," tandasnya.

Dengan meminjam tawaran pengawasan partisipatif itu, sesungguhnya dapat dijadikan sebagai cara untuk saling merangkul, saling terlibat mengawasi apa saja dan siapa saja yang merencanakan terjadinya cedera pemilu. Jangan sampai itu terjadi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Suluk Matan dan Gairah Spiritual

“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?” Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar. Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru. Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh pa