Pew Research Center merilis definisi baru generasi milenial. Generasi milenial dalam definisi ini memiliki rentang waktu yang sedikit lebih pendek. Ukuran baru menyatakan mereka yang terlahir antara tahun 1981 sampai 1996 adalah generasi milenial.
Generasi milenial selama ini dianggap sebagai generasi yang paling tidak dapat dipahami. Sulit untuk menentukan siapa saja yang termasuk generasi milenial, meskipun ada stereotip tertentu yang muncul di permukaan. Misalnya; mereka lebih suka menghabiskan uang untuk piknik, daripada membeli rumah.
Demikian halnya dengan gaya beragama kaum Milenial. Terbilang unik, bahkan menggelitik. Sebab kehadirannya telah disambut oleh kecanggihan sains dan teknologi. Berbeda dengan dua lapis generasi di atasnya, hadir di tengah sains dan teknologi sedang berkecambah menuju fungsinya yang kelak benar-benar menjadi sandaran hidup umat manusia.
Mari kita mencermati sejumlah sajian data. Sebuah survei yang dilakukan oleh CSIS (2017) bahwa kaum muda merupakan penikmat media sosial yang sangat tinggi (87 persen) dari 5000 pelajar dan mahasiswa angkatan baru menggunakan media sosial dalam setiap harinya.
Begitu juga dengan The Wahid Institute (2017) yang mencatat bahwasannya generasi milenial banyak menggunakan media sosial, seperti Instagram, Twitter, facebook dan Youtube sebanyak 77 persen. Temuan serupa juga menjadi penguat ekspresi generasi milenial yang belajar agama dengan media sosial, tanpa melakukan kontak langsung dengan ustadz-ustadzah.
Bersamaan dengan itu, muncul arus gagasan beragama yang menyajikan spiritualisme instan. Disebut demikian, sebab pola yang dikampanyekan adalah Gerakan Kembali kepada al Quran dan Sunnah.
Secara umum, kampanye gerakan tersebut, terdengar indah di telinga. Namun ketika dioperasikan dengan sesederhana itu, justeru ditemukan adanya bahaya dalam praktek keberagamaan, khususnya bagi kalangan generasi muda saat ini.
Bukan hanya sampai disitu saja. Saat ini kian berkembang menjadi komunitas yang mengedepankan kesamaan, keseragaman. Tidak boleh ada corak keislaman yang lain. Jika ada, dipastikan sebagai bentuk penodaan agama alias kafir. Dan kata kafir bagi mereka, adalah jalan mulus untuk menghalalkan darah manusia. Siapa pun itu.
Dalam prakteknya terkadang samar. Sebab telah mendapatkan kemasan milenial. Semisal Anak Remaja Islam Gaul, Syar'i Milenial, dan lain-lain.
Di sebuah tempat, saya pernah berjumpa dengan seorang siswi kelas X (sepuluh). Ia mengaku sedang mengikuti proses pendalaman Agama dari seorang Murabbi. Dalam curahan hatinya, ia sedang dilema.
Betapa tidak, di saat ia bertanya tentang kebiasaan kedua orang tuanya menggelar tradisi maulid dan baca doa bagi orang yang telah meninggal dunia, sang Murabbi menudingnya sebagai praktek kekufuran.
"Katanya orang tua saya itu melakukan khurafat. Orang tua saya dianggap kafir. Katanya, lebih baik saya membunuh kedua orang tua dari pada membiarkannya hidup dengan kekufuran," kata siswi yang berusia 17 tahun itu kepada saya.
Apakah kejadian seperti ini sebagai hal baru? Pada dasarnya tidak. Paham ini sesungguhnya amat dekat dengan corak berpikir dan gaya beragama generasi penikmat media sosial saat ini. Kepada para orang tua, berhati-hatilah, sebelum anda menjadi target dari tuduhan kekufuran. Inilah Takfiri sejati.
Komentar