Suatu hari, saya berjumpa dengan seorang pria yang kira-kira usianya antara 45-50 tahun. Awalnya, dia bercerita tentang dinamika dunia kerja, yang menurutnya sulit melepas diri dari sikap dan tindakan salah. Ia terus menggerutu akan banyaknya penyimpangan yang dipandang 'bersih' oleh pihak pemeriksa. Namun suara batinnya tak sanggup mendustakan peristiwa sebenarnya.
Di tengah ketidaksanggupan berlari dari kebiasaan-kebiasaan buruk itu, si Bapak ini mengaku kehabisan akal. Ia tak punya jurus lain untuk membenahi profesi yang menurutnya memang sulit dilepaskan, dari ragam praktek dosa. "Sudah terstruktur, sistematis dan masif," katanya.
Pelariannya hanya satu; Agama. Ia termasuk satu di antara beberapa orang yang sangat percaya dengan pahala dan penghapusan dosa berkali lipat, jika ditunaikan di Dua Kota Suci. Yakni Makkah al Mukarramah dan Madinah.
Ia percaya, sebanyak apapun tumpukan dosa yang diperbuatnya, Masjidil Haram dan Masjid Nabawi adalah dua perkakas yang mampu melepas segala salah dan dosa. Wal hasil, di tanah Haram ia bertaubat. Di tanah air ia berdosa. Ia mewajibkan diri untuk mengunjungi Masjidil Haram dan Masjid Nabawi sekurang-kurangnya sekali dalam setahun.
Dalam pandangan sekilas, tentu ini sebuah kebanggaan. Tidak banyak orang yang mampu menjalankan Ibadah Umrah setiap tahun. Ia boleh jadi telah menerima sanjungan publik sebagai orang paling shaleh di kantornya, tempat ia bekerja.
Tapi rupanya, tak seindah yang dibayangkan. Pandangan semacam ini bukan hal langka. Anggapan bahwa dua kota suci itu mampu menghapus dosa dengan segala jejaknya telah memberi pelecut terhadap perasaan tak berdosa dalam dunia kerja.
Jika demikian, adalah hal yang wajar ketika sejumlah umat Islam di satu sisi, sangat kental dengan pengakuan keislamannya. Namun pada sisi yang lain juga rentan dengan perbuatan-perbuatan nista.
Diperlukan pelurusan niat serta pandangan tentang dosa dan pengampunan. Menurut al Qusyairi misalnya, pengakuan dosa tak cukup hanya dengan harapan diampuni. Setelah itu, dapat berbuat dosa hingga berulang kali. Pengakuan dosa, mesti menempuh dua fase yang tak dapat disepelekan. Yaitu, penyesalan (an-Nadamah) dan tekad kuat untuk tak lagi mengulang kesalahan yang sama.
Itu sebabnya dalam perspektif spiritualisme, konsep menyembah dan beribadah itu dua hal yang serupa tapi tak sama. Dalam konteks beribadah, seseorang dibatasi oleh ruang dan waktu. Ada waktu shalat dan ada tempat shalat, ada waktu puasa dan ada pula waktu haji.
Namun ketika dalam ranah menyembah, daya jangkaunya menembus ruang dan waktu. Ia tak punya bentuk juga tak punya waktu. Sebab menyembah pada Tuhan hakikatnya sebagai aktivitas hati yang kemudian mengarahkan seluruh raga meniti anak tangga kebenaran.
Jika mencermati kasus di atas, kehendak menghapus segala dosa patut diapresiasi. Namun yang mesti diluruskan adalah cara pandangnya yang sedemikian sederhana menyelesaikan persoalan kebatinannya dengan cara-cara yang hakikatnya tak direstui Agama.
Komentar