Langsung ke konten utama

Kematian Agama di Hadapan Sosialita

Fenomena sosial masa kini adalah dengan hadirnya satu identitas sosial baru yang diistilahkan dengan Wanita Sosialita. Ia menciptakan kelas sosial baru, pembeda bagi identitas sosial lainnya. 

Dalam Jurnal Empati Volume 5/2016, Nova Pramuditha Yusara menukilkan, sosialita saat ini sedang marak dibicarakan oleh masyarakat karena merupakan sebuah fenomena sosial yang berkaitan dengan sebuah komunitas. Sosialita ialah sebuah predikat yang disematkan kepada wanita-wanita atau ibu-ibu dengan kriteria tertentu. 

Sesuai dengan asal katanya, Sosial dan Elite, kelompok sosialita ini diramaikan oleh perempuan dengan latar belakang orang kaya, orang berpengaruh, isteri-isteri pejabat, dan atau anak orang kaya. 

Warna kehidupannya dihisasi oleh gaya hidup glamour, wara-wiri arisan, memakai barang-barang mewah beloved, dengan penampilan yang serba mewah. Dalam menentukan pakaian misalnya. Mereka akan sakit hati ketika dalam sebuah perkumpulan, jika tiba-tiba di hadapannya muncul sosok perempuan yang mengenakan pakaian yang sama dengan yang kostum yang dikenakannya juga. 

Sikap demikian berimplikasi pada kesenangan menimbun barang-barang mewah. Sebab untuk dua agenda arisan yang akan dihadirinya dalam sehari misalnya, mengharuskan dirinya untuk tampil dengan kostum yang berbeda. Anda bisa bayangkan, ketika dalam sehari ia harus hadir dalam beberapa acara. Seperti Arisan, pesta perkawinan, rapat, karaoke dan berbagai tempat glamour lainnya. 

Hal paling mematikan bagi komunitas yang juga disebut sebagai Cosmo Ladies ini adalah budaya konsumtif yang sangat tinggi. Sebab mereka sangat pantang pada istilah ketinggalan zaman alias kurang update. 

Ini wajar, karena mereka mengharuskan diri untuk terus fashionable dalam berbagai momentum. Bahkan untuk momentun religi pun demikian. Di sini, kita mencermati bahwa dalam konteks Agama sekalipun, Cosmo Ladies ini masih juga mempertuhankan nafsu bgaya hidupnya.

Mari menyaksikan bersama. Ketika menghadiri kelompok Ibu-ibu Majelis Taklim, fenomena menyimak sajian dakwah sebetulnya tidak sedang dibutuhkan. Jika pun harus ada, cukup seorang da'i yang tampil dengan cerita-cerita lucu dan mengundang tawa hingga akhir acara arisan. Sebab, dominasi cerita tentang uang, belanjaan, promo baju trend, dan berbagai rayuan pasar terlanjur menguasai alam bawah sadar mereka. 

Lalu dimana Agamanya? Dari sudut pandang Filsafat, kelompok sosialita atau Cosmo Ladies ini  menganut paham Hedonisme. Yakni berorientasi pada kenikmatan dunia sebagai tujuan hidupnya. Di luar dari konteks tersebut, hanya sebagai pemanis saja. 

Ketika ditawarkan tentang makna hidup yang memerlukan ruang pengorbanan dan ketulusan, bukan mustahil akan disanggah dengan cercaan sebagai tanda ketidaksukaan terhadap hal tersebut. 

Mari merenungkan, bagaimana kiranya jika mekanisme berpikir hedonis itu sedang menimpa isteri anda? Apakah masih akan ditemukan ketenteraman dalam rumah tangga? Lalu apa makna sebuah pernikahan yang semestinya dibingkai dengan nafas Agama jika sudah terlanjur bangga dengan identitas sosialita? 

Karena itu, jangan kaget jika keretakan rumah tangga dangat mudah terjadi. Salah satunya, karena nafsu sosialita turut berkontribusi terhadap kematian Agama dalam rumah tangga. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui