Langsung ke konten utama

Potret Masyarakat Post Truth

Revolusi Indistri telah melahirkan kekuatan 4.0. Terdapat perubahan teknologi yang datang silih berganti. Dahulu, manusia mengandalkan tenaganya, kini tergantung pada siapa  yang berduit. Dahulu, kita mengandalkan otot. Lalu berubah dengan mengandalkan mesin yang dapat digerakkan. 

Pergeseran itu terus bergerak. Saat ini, sejumlah jenis pekerjaan lenyap, lalu tergantikan dengan kecanggihan yang mengandalkan tombol, sandi, dan kode rahasia lainnya. Pastinya, dengan kecanggihan itu, pola kehidupan umat manusia pun ikut terpengaruh di dalamnya. 

Jika dahulu, jarak geografis sangat terasa menggerus waktu. Namun kelebihannya, jejaring kemanusiaan berlangsung dalam kehidupan penuh kehangatan. Namun ketika teknologi merajai sistem kehidupan umat manusia, segalanya berubah. 

Kita dibuat takluk pada satu objek genggaman untuk sekian banyak tugas dan beban kerja. Smartphone yang ada dalam genggaman kita masing-masing benar-benar telah menegaskan diri, bahwa dunia memang sudah dalam genggaman kita. 

Tetapi, kecanggihan itu telah membumihanguskan sekian banyak hakikat kemanusiaan kita. Pola interkasi yang kian berlangung dalam 'cita rasa password' telah menghapus makna hakiki dari kemanusiaan kita. Sebab dalam perkembangannya kemudian, manusia terjebak pada ragam kebenaran yang diabaikan. Lalu tergantikan dengan ragam kepalsuan yang ditampilkan seolah-olah benar adanya.

Di sinilah kita berjumpa dengan satu istilah, yaitu Post Truth. Sebagai efek dari obesitas dan keberlimpahan informasi, kita pada dihadapkan pada pilihan untuk tetap berpikir jernih meraih kebenaran. Atau sebaliknya kita diseret untuk menjadi bagian dari perekayasa kebenaran, kendati sebetulnya penuh kepalsuan.

Dari mana muasal persoalan ini? Dari pusaran kekuasaan. Di saat gerbang kuasa tak sanggup membuktikan karya dan pengabdiannya, mereka memilih melakukan gerakan manipulasi untuk merekayasa kepalsuan menjadi tampak benar di benak publik. 

Era Post-Truth benar-benar telah menggilas apa yang disebut dengan nilai sebuah kebenaran. Dalam Jurnal Komunikasi Indonesia, Vol. V 2017, Kharisma Dhimas Syuhada mengemukakan, banjir informasi di era revolusi digital menghadirkan sejumlah dampak sosial. Problem
masyarakat bukan pada bagaimana mendapatkan berita, melainkan kurangnya kemampuan mencerna informasi yang benar. 

Persoalannya, rezim Post Truth terlanjur menggiring publik agar terlena dalam doktrinasi retorika, tanpa data dan fakta. Jadi, di era Post Truth, fakta tidak penting. Serta kebohongan bukan lagi berfungsi sebagai standar moral. Sebaliknya, kebohongan dipandang sebagai satu bakat yang sedang menantikan pengaturan agar lebih apik, rapi, terukur dan terencana.  

Lalu bagaimana menghadapi gempuran Psot Truth ini? Publik mesti dibiasakan untuk hadir ke permukaan dengan pikiran-pikiran khas literasi. Apa artinya? Yakni sebuah kultur yang berkembang di kalangan kaum terdidik dengan menjaga kehati-hatian bersikap sebelum segalanya memiliki alat ukur yang dapat dipertanggungjawabkan. 

Publik mesti disiapkan alas pikirnya agar terbiasa mengungkap data dan fakta. Di saat yang sama juga, diajarkan betapa berbahayanya ketika ruang publik diramaikan oleh pergumulan yang dipenuhi oleh energi dan tradisi gengsi, ambisi dan manipulasi. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui