Langsung ke konten utama

Hiperrealitas Pemimpin Agamis

Dalam beberapa peristiwa politik, kepemimpinan di semua tingkatan, acapkali dikaitkan dengan tindakan-tindakan religiusitas. Tentu bukan hal mengagetkan. Sebab sejumlah lembaga survey seringkali mencantumkan aspek religius sebagai salah satu faktor tinggi rendahnya tingkat ketenaran, kesukaan dan pilihan publik. 

Memang diakui, dalam diskursus relasi Agama dan Politik, keduanya tak benar-benar dapat dipisahkan secara ekstrim. Agama menjadi penyokong hadirnya iklim politik yang sehat, santun dan berkeadaban. Pun dengan Politik, memiliki peran penyokong dalam agenda pencerahan umat, menuju keselamatan dunia dan akhirat.  

Problemnya kemudian adalah, ketika kepemimpinan itu mendapatkan polesan agamis. Alias tidak benar-benar agamis. Atau agamis karena tunduk pada momentum situasional. Sebab satu hal yang pasti, menyeret ruang agama dalam kepentingan politik pragmatis, selamanya hanya akan mengorbankan agama, berikut para penganutnya.

Betapa tidak, di tengah kepolosan publik dalam menentukan pilihan politiknya, justeru disuguhi oleh mainan politik yang bertopeng agama. Kepemimpinan religius dipaksa untuk tampil dalam kesimpulan yang serba simbolik, jauh dari subtansi religiusitas itu sendiri.

Dalam studi hiperrealitas, fenomena ini menciptakan suatu kondisi dimana kepalsuan bersatu dengan keaslian. Masa lalu berbaur dengan masa kini. Fakta bersimpang siur dengan rekayasa. Tanda melebur dengan realitas. Dusta bersenyawa dengan kebenaran. 

Dapat dibayangkan ketika simbol-simbol religius itu dipertontonkan, hingga menghipnotis hayalan publik. Tentu dengan mudah, publik akan merasakan sensasi religi yang belum tentu sesuai dengan hakikat maupun fakta di balik layar hasrat politik. 

Terlebih lagi ketika Agama menjadi senjata memancing emosi massa. Atau sebaliknya, atas dalih berdasar agama, dengan enteng bakal menganggap kesalahannya sebagai bagian yang mudah dimaafkan rakyat. Dengan mudah akan berkelit: Kalau Tuhan saja maha pengampun, tentu hamba-hamba-Nya akan mensifati sifat-sfat Tuhan-Nya.  

Inilah alasan mengapa diperlukan otokritik terhadap praktek-praktek yang kerap menjadikan agama sebagai 'jualan' politiknya. Sebab ada sebuah harapan agar para pemimpin mengedepankan aspek subtansi dalam beragama, serta dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. 

Ketika kekuatan simbolik ini terlampau jauh meninggalkan hal-hal subtansi, maka hasilnya pun hanya akan menyisakan kepalsuan demi kepalsuan. Artinya, sekali lagi, sebenarnya Agama hanya menjadi alat saja. Bukan sebagai spiritualitas yang menggerakkan bagi kepentingan kemasalahatan umat. 

Dengan merujuk pada hadis Nabi Saw, kepemimpinan agamis itu takarannya jelas. Yakni, terciptanya tatanan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat yang dipimpinnya. Bukan yang lain.

Dalam perspektif sufistik, Pemimpin juga bertanggung jawab terhadap baik tidaknya ekosistem lingkungan. Hingga pada semut yang mati dalam kelaparan pun, mesti dipertanggungjawabkan oleh para pemimpin di hari kemudian, kelak. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui