Generasi tua, boleh saja bangga dengan kisah manisnya di masa lalu. Tinggal di desa, menikmati kicau burung dan dinginnya alam. Selepas zhuhur, sudah berada di rumah Guru ngaji. Pulang mengaji, bisa langsung bermain di lapangan bola.
Saat maghrib tiba, sekumpulan anak-anak yang beranjak remaja berebutan jadi muazzin di Masjid. Sementara yang lain memilih mengambil sapu, membersihkan lantai masjid.
Tapi, cerita di atas nyaris tak menarik dikisahkan untuk generasi masa kini. Eranya sungguh berbeda. Jika dahulu kala, kehidupan kampung sangat akrab dengan semangat saling berbaur dan menjunjung nilai-nilai subtantif agama, kini, gaya menyorotnya mesti berbeda.
Apa yang dihadapi generasi masa kini, terlanjur dikuasai oleh kemajuan zaman dan kecanggihan teknologi. Sebut saja media sosial. Alat telekomunikasi dalam genggaman itu menjanjikan kehidupan serba simpel. Tak terkecuali dengan gaya hidup menangkap pesan-pesan agama.
Agama yang dipahami hari ini ibarat sebuah layar komputer yang hanya menyajikan 3 opsi; Yes, No atau Cancel. Tanpa disadari, pilihan dengan model demikian turut mewarnai corak berpikir, gaya beragama generasi dewasa ini. Cakrawala beragamanya hanya mengitari tiga pilihan saja.
Jika diseret ke dalam konteks praksis, generasi masa kini akan sangat mudah tergerus dalam kekerdilan cara berpikir sekaligus beragama. Terbuktilah akhir-akhir ini. Di tengah ikhtiar pemerintah meminta rakyat untuk menolak Covid 19 dengan tinggal di rumah, tidak ke Masjid, justeru ditangkap sebagai agenda terselubung. Pemerintah dipandang kian jauh dari agama. Pemerintah, bahkan Ulama, dituding telah membiarkan suara panggilan Allah menuju masjid tak lagi disahuti dengan kepatuhan.
Mengapa demikian? Ada sebuah jumping atau lompatan dalam tradisi berpikir dewasa ini. Khususnya di bidang Agama. Manusia masa kini cenderung memilih cara beragama serba simpel. Mengutamakan yang wajib, kendati kadang mengabaikan aspek-aspek adab atau tata krama. Padahal, jika ditelisik lebih dalam, apa yang kita saksikan itu menunjukkan sebuah ironi hilangnya subtansi agama. Lalu yang tersisa hanya bagian kulitnya saja.
Anda dapat bayangkan, ketika perdebatan di media sosial menyangkut Agama menjadi objek sebuah diskusi. Tampak betapa nihilnya kadar ke-adab-an kita. Seorang yang paham secara holisitik ajaran agama Islam misalnya, dibuat jadi olokan hanya karena menjadi objek gempuran netizen. Padahal, sekiranya akan ditanya satu per satu, adakah di antara Netizen itu yang benar-benar paham ajaran Agama? Ataukah anda sedang membabi buta beragama?
Ibadah yang dilakoni hanya sebagai rutinitas yang wajib ditunaikan setiap saat. Sampai disitu saja. Padahal hakekat beragama itu ada pada perubahan sikap dan perilaku menuju kebaikan. Para penganut Agama akan mengalami kehampaan jika hanya disibukkan dengan wilayah-wilayah 'kulit' saja. Tanpa pernah mengajaknya pada suasana kebatinan yang seharusnya ia pun turut merasakannya.
Inilah tugas dan tanggung jawab bersama hari ini. Mengantar generasi masa kini agar paham secara utuh terhadap agama yang diyakininya. Maka pintu intelektualitas hendaknya dibuka, sebelum doktrin para 'penjual surga' itu dijajakan di arena pasar netizen.
Marhaban Ya Ramadhan. Saatnya menjadikan bulan suci ini sebagai Madrasah Ruhaniyah, menggali sisi terdalam Agama, menemukan kejernihan hati, di tengah semarak gegap gempita caci maki, dengki dan iri hati.
Komentar