Tren Gerakan Hijrah sedang digandrungi kelompok anak muda milenial. Mereka dominan berasal dari kalangan yang berlatar belakang pendidikan Umum, lebih khusus lagi bidang eksakta. Mereka secara terbuka tampil dengan membawa nuansa yang realtif berbeda dengan pakem Keislaman yang selama ini diusung oleh NU dan Muhammadiyah.
Terma Hijrah secara harfiah berarti, 'berpindah', dengan rujukan historis pada hijrahnya Nabi Muhammad saw dari Makkah ke Madinah. Di Indonesia sendiri, istilah Hijrah tak lagi berdiri sendiri. Hijrah telah menjelma menjadi sejenis asosiasi atau perkumpulan dengan mengusung ide dan gagasan yang sama.
"Hadirnya doktrin hijrah relatif gampang menjangkiti kelas menengah urban yang frustrasi dan haus inspirasi kesalehan," kata Munirul Ikhwan, Dosen pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Menurutnya, ada cara pengemasan yang unik antara kajian keislaman dan praktik manajemen bisnis. Jadi, ada semacam perjumpaan narasi kesalehan yang cenderung praktis dengan jejaring bisnis.
Namun sayangnya, gerakan Hijrah ini cenderung menyokong semakin kuatnya konservativisme. Basis kesilamannya cenderung bergerak pada tema besar Pemurnian Akidah (Tajdidul Islam). Sebaliknya, mereka menolak mekanisme pencerahan umat yang bergerak dengan menggunakan perangkat keilmuan Islam yang selama ini menjadi alas berpikir para Ulama Nusantara.
Contoh paling sederhana, adalah semangat kembali kepada Al Quran dan Sunnah. Anjuran ini memiliki kesan yang cukup memikat. Padahal dalam operasionalisasinya, relatif menimbulkan bahaya. Terlebih lagi, Gerakan Hijrah juga rentan dengan pola pemahaman yang sangat tekstual.
Beberapa pertanyaan mendasar dapat dijadikan sebagai alat deteksi betapa rapuhnya landasan berpikir ala Kelompok Hijrah. Misalnya, Bagaimana Hukumnya orang yang meninggalkan shalat secara sengaja? Jawaban paling mudah disampaikan adalah bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat berada dalam tingkatan orang-orang kafir (kafara jiharan). Saat ditanya tentang dampak yang diterima ketika orang disebut Kafir, mereka akan menjawab bahwa orang-orang kafir, halal darahnya.
Nah kesimpulan seperti ini sesungguhnya terlalu berbahaya. Sebab ketika mendalami ajaran Teologi (Aqidah), itu baru satu perspektif saja. Hanya mengambil pandangan Khawarij. Sementara di Indonesia, mayoritas Ulama mengambil jalan tengah (tawassuth), bahwa orang yang sengaja meninggalkan Shalat, maka dihukumi sebagai orang yang berdosa. Soal kekafirannya, biarlah Tuhan yang memutuskan.
Pada kasus yang lain, munculnya ajakan Hijrah dimulai dari pertanyaan-pertanyaan yang sejak awal keliru, dan tak menarik untuk dijawab. Misalnya mana yang lebih bagus antara ikut Al Quran atau ikut UUD 1945? Sekali lagi pertanyaan ini salah. Sebab mencoba membandingkan sakralitas al Quran dengan UUD 1945.
Itu pulalah yang memunculkan kesalahan besar ketika ada yang bertanya: Anda ini sebenarnya takut kepada siapa? kepada Allah atau Corona? Inipun merupakan pertanyaan yang keliru bahkan menyesatkan.
Maka, 'PR' besar bagi bangsa ini adalah membenahi nalar kritis segenap umat beragama.
Komentar