Langsung ke konten utama

Puasa di Era Corona

Kehadiran puasa kali ini berbeda. Sungguh berbeda. Jika di tahun-tahun sebelumnya, bayang-bayang kehadiran bulan suci Ramadhan diramaikan oleh iklan Syrup di televisi, perusahaan Sarung jadi sponsor utama acara religi, dan produksi musik religi seketika naik daun. Kini tak semeriah itu lagi.

Dunia sekarang sedang berduka. Wabah Virus Covid 19 alias Corona datang menghantam lebih dari separuh jumlah negara di dunia, termasuk di Indonesia. Awalnya, disinyalir hanya akan menimpa sejumlah negara maju kelas papan atas. Tapi rupanya virus itu tak kenal kelas. Ia melakukan aksi pukul rata tanpa pandang bulu. Terhadap orang salah ataupun orang saleh, semuanya sama.

Di Indonesia sendiri, sejumlah upaya dilakukan untuk menekan jumlah korban keganasan Corona. Pesan untuk rajin Cuci Tangan, Jaga Jarak, hingga berdiam di rumah menjadi kalimat-kalimat bijak, mengalahkan kearifan yang jamak kita simak selama ini.

Puasa di Era Corona ini, setidaknya akan mengubah sejumlah pola hidup dan kebiasaan interaksi sosial. Jika sebelumnya, kita disunnahkan untuk saling berjabat tangan, kini justeru sangat dianjurkan untuk tidak bersentuhan. Dahulu, jabat tangan menjanjikan ampunan Allah, kini, malah dipandang mempercepat kematian.

Dahulu, orang bersin dipandang sebagai manusia beruntung, panjang umur. Tapi kini, jangan berani bersin di kerumunan orang. Anda terancam dikutuk seumur hidup.

Dahulu, amat besar pahala ketika menjalankan ritual Ibadah Shalat di Masjid. Namun hadirnya Corona berhasil menjungkir balik nalar beragama kita. Rupanya berdiam diri di rumah jauh lebih utama dari pada mengejar amal saleh. Apalagi jika sampai turut menebar virus mematikan itu.

Dahulu, bersilaturahmi, pahala kunjung mengunjungi itu dijanjikan oleh Nabi saw bakal memanjangkan usia, melancarkan rezeki. Tapi kini, Video Call dan Teleconfrence lebih menjanjikan keselamatan.

Sejumlah catatan di atas, dalam studi Islam dikategorikan sebagai kasus Fiqh. Dalam artian, interpretasi manusia terhadap teks-teks agama. Karena ia fiqh, maka peluang untuk mengalami perubahan bukan hal mustahil. Terlebih jika menggunakan hukum kedaruratan. Juga bukan mustahil akan menimbulkan keragaman argumentasi. Tergantung pada sudut pandang, serta metode yang dioperasikan dalam menangkap pesan teks agama.

Sehingga, bagi kita yang awam, kaget dengan segala perubahan ini wajar. Namun bersikeras dengan pakem ritual ibadah yang dipraktekkan selama ini, juga menunjukkan kebodohan di ruang publik. Sebab dalam kondisi seperti ini, memosisikan diri sebagai orang awam, jauh lebih tepat daripada merasa diri tahu terhadap banyak hal.

Akan lebih bijak jika dalam suasana seperti ini kita dapat berlapang dada, arif dan bijaksana, menyerahkan kepada mereka yang punya otoritas keilmuan mumpuni.

Perangkat keilmuan dalam memahami teks agama itu penting. Sehingga, jika anda tak punya perangkat itu, pilihlah sikap diam, tidak banyak ulah, sembari mengikuti anjuran orang-orang berilmu.

Tapi jika anda tetap saja merasa kurang shaleh, minus pahala, jika tak melakukan sejumlah hal di atas di era Corona, kata almarhum Nurcholish Majid, itu pertanda sebagai bentuk Egoisme Religius. Beragama tapi ngotot. Lalu dimana menemukan hakekat beragama pada jiwa-jiwa yang ngotot itu?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui