Prahara Virus Covid 19 ini benar-benar memporak-porandakan dimensi kehidupan kita. Ia hadir bagaikan musuh yang menyerang membabi buta tanpa menunjukkan dimana ia berada. Tak peduli orang miskin atau kaya, rakyat atau pejabat dan lain sebagainya.
Wal hasil, Corona terus menjadi objek perbincangan publik. Mulai dari yang serius hingga dibuat serba menertawakan. Bayangkan, hadirnya Virus ini turut menggoyang kemapanan beragama selama ini. Dahulu, Imam, pemimpin Shalat, disunnahkan berseru; Luruskan dan Rapatkan Shaf. Saat Corona datang menghampiri, jaga jarak justeru diutamakan.
Dahulu, kita dianjurkan memakmurkan masjid. Namun kini, untuk sementara waktu, masjid, pengajian, majelis taklim dan kegiatan keagamaan lainnya, untuk sementara waktu ditiadakan.
Pembatasan yang berlangsung itu cukup membuat para elit Agama Islam mengalami proses dinamika yang terus berkembang. Mereka dituntut untuk mencetuskan Ijtihad yang mengedepankan fungsi-fungsi pencegahan melebihi dari hasrat menggapai pahala.
Mereka juga dituntut menemukan formulasi baru dalam kaifiyat beribadah, khususnya bagi tenaga medis, tanpa harus melepaskan Alat Pertahanan Diri (APD) dengan menggunakan prinsip-prinsip mudah dan memudahkan. Tapi bukan memudah-mudahkan.
Sampai disini, problematika Corona menjelma dalam dua wajah. Yakni wajah medis dan wajah teologis. Atau dengan kata lain, perjumpaan Sains dan Agama kembali diuji. Apakah keduanya dapat seiring sejalan, atau akan kembali mengalami jarak dan benturan keras. Corona sedang menguji kedua hal itu.
Misalnya, ketika pihak medis mengkategorisasikan zona pandemi; Merah, Kuning dan Hijau, apakah hal tersebut akan menjadi kategori pelaksanaan Ibadah juga? Ini menarik, sebab di lapangan, perdebatan ini memasuki tingkat yang cukup sengit.
Sekali lagi, ini tentang kehormatan sains dan martabat Agama. Sekali salah, akan menjadi olok-olokan publik, cercaan umat. Pihak medis tak mudah untuk mengungkap setiap persoalan, apalagi jika akan menimbulkan benturan sosial. Pun dengan para elit Agama, tidak boleh gegabah mengambil sikap parsial. Bahwa Corona adalah masalah medis dan bukan masalah Agama. Nah di sinilah, pentingnya, dalam kajian keagamaan, kita memerlukan perspektif terintegrasi. Tidak cukup jika hanya menggunakan piranti dasar pengetahuan Agama.
Penentuan zona misalnya, tentu tidak berdiri sendiri. Kita mesti memahami mekanisme kerja virus. Ia tak pernah hadir dengan prinsip sadar ruang. Kedatangan gerombolan Virus itu tak mau tahu soal zona merah, kuning dan hijau. Corona juga tak peduli, antara pasar, mall, masjid, atau gereja. Semuanya dihantam, semuanya disamaratakan.
Jika seperti ini model kerja virus, lalu dengan alasan apa untuk bertahan pada kategori di atas sebagai alasan boleh-tidaknya shalat di Masjid? Karena itu, tugas intelektual adalah berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk tak membuat jarak terlampau jauh antara Sains dan Agama. Jika memang tak ingin menyebut bahwa keduanya bukan hal yang mesti dipisahkan.
Maka, di saat kondisi darurat seperti sekarang, ini tugas paramedis untuk berhati-hati melontarkan setiap peristiwa dan perkembangan Covid 19. Sebaliknya, agamawan diminta agar lebih terbuka dalam setiap persoalan. Ini bukan hanya urusan halal-haram. Ini terkait dengan masalah empati kemanusiaan kita yang sedang diuji. Sebab, tak elok jadi pemburu surga, di tengah pandemi yang mematikan kelangsungan hidup manusia.
Komentar