Untuk tema yang satu ini, kita kerucutkan term Agama dalam dua konteks. Yakni Sosial dan Sistem Nilai. Bukan pada tataran ritualitas. Penegasan ini penting, sebab Agama hari ini terlanjur simpang siur. Utamanya ketika disentuhkan dengan pola pengambilan kebijakan Pemerintah.
Agama di ruang eksekutif birokrasi di daerah, berada dalam dua kamar berbeda. Sebagian di bawah tanggung jawab Kesbang, sebagian lainnya berada di lingkup sekretariat melalui biro kesra dan keagamaan. Atau jika di tingkat Kabupaten di bawah komando seorang Kepala Bagian Kesra.
Nah dengan dua kamar birokrasi ini, tak jarang sering memunculkan kesimpulan sederhana. Bahwa wajah Agama di dunia birokrasi hanya dua. Yaitu, stabilitas dan bantuan sosial.
Nah di sinilah, titik persoalannya mengapa kita tak pernah sampai pada makna hakiki dalam menjadikan agama sebagai etika publik. Sementara di sisi lain, pembangunan di sektor agama teramat prematur untuk dicaplok sebagai bagian dari keberhasilan pemerintah. Hanya karena tak ada konflik atas nama Agama, hanya karena porsi APBD untuk bantuan sosial rumah Ibadah yang tinggi, atau karena adanya insentif pegawai Syara'.
Ada yang luput dalam memori para pengambil kebijakan. Pertama, perlunya merekonstruksi nalar berpikir tentang agama dalam perencanaan pembangunan. Perlu digeser dari sebatas menyiapkan porsi anggaran. Namun juga menyemaikan nilai-nilai universal agama dalam dunia birokrasi seccara utuh.
Kedua, tentang kian surutnya tata krama terhadap para pemuka agama hendaknya menjadi perhatian tersendiri. Sebab, di atas ambisi supremasi demokrasi, yang lebih penting untuk terus dijaga adalah merawat adab terhadap para pemuka agama.
Adalah hal ironis ketika lembaga selevel Majelis Ulama Indonesia (MUI) harus tampil merengek hanya untuk mendapatkan porsi anggaran pembinaan umat. Lebih miris lagi, ketika MUI diperhadap-hadapkan dengan rakyat atas nama undangan Hearing DPRD. Secara normatif, tidak ada yang keliru dari sikap DPRD. Tapi, maaf, riwayat pemerintahan Orde baru, saya kira masih lebih beradab dalam konteks penghormatan kepada para Ulama daripada apa yang dipertontonkan akhir-akhir ini.
Perspektif inilah yang sedang didorong untuk menyehatkan kembali nalar birokrasi agar tetap berjalan di atas landasan 'tahu diri' sebagai jantung utama dari falsafah Malaqbi dalam makna seluas-luasnya.
Karena itu, harapan ke depan adalah mengembalikan keharmonisan relasi Ulama dan Umara. Pemimpin di tiap-tiap daerah tanpa harus melalui kritik pedas di atas podium, telah memahami pesan kearifan dari para Ulama. Sebaliknya, para Ulama terus beristiqamah menjaga para pemimpin agar tetap dijauhkan dari jurang kesalahan.
Tentu ini bukan hal sederhana di tengah laju teknologi dan informasi yang kian canggih. Dua kekuatan ini dapat saling menopang lalu berjumpa pada muara yang sama; terciptanya umat atau rakyat yang taat pada pemimpin, didoakan para ulama, diberkati segala ikhtiar kehidupannya.
Namun jika dua kekuatan di atas tak saling menjaga, maka posisi Agama akan semakin menjauh dari medan birokrasi. Ulama diabaikan, tokoh Agama digadaikan. Lalu di permukaan, wajah kekuasaan terus dipoles atas nama Agama yang sesungguhnya hanya serupa kosmetik abal-abal.
Komentar