Langsung ke konten utama

Akrobat Dakwah Halal-Haram

"Di masa kami, banyak ulama namun sedikit pendakwah. Tapi akan muncul suatu masa dimana pendakwah sngat banyak, namun sulit ditemukan ulama"

Demikian pesan menukik dari Khalifah Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib. Pesan di atas cukup relevan di masa sekarang ini dengan mencermati fenomena dakwah cenderung bergerak liar.

Dikatakan demikian, sebab untuk menjadi seorang Da'i, tidak mesti melalui sebuah proses seleksi yang ketat. Atau setidaknya memiliki standarisasi yang jelas. 

Untuk masa sekarang ini, menjadi da'i hanya butuh model dan kostum saja. Soal berapa lama anda menekuni agama, kepada siapa silsilah pendalaman keilmuan anda, semuanya tidak dibutuhkan. Sebab yang terpenting, cukup berdiri di atas mimbar, mencomot satu dua ayat serta hadis, jadilah anda sebagai da'i. 

Secara bebas, mimbar menjadi panggung popularitas dan medium untuk menyulut emosi umat beragama. Adapun soal penalaran beragama, cukup diabaikan. Apa argumentasinya? Bahwa kita tak boleh mengakali agama. 

Apa hasilnya? Suatu ketika saya menyimak sebuah sajian dakwah yang awalnya menarik untuk disimak. Namun berakhir dengan kekecewaan. Pasalnya, sang Da'i itu mengawali dengan kata-kata bahwa Manusia ini pada dasarnya tidak memiliki apa-apa. Hanya Allah yang memiliki segala-galanya. 

"Kita ini tidak punya apa-apa. hanya Allah yang punya segalanya. Kita ini ntidak punya masalah. Hanya Allah yang bermasalah". 

Inilah lontaran yang menurut saya bukan hanya perlu diluruskan. Namun yang terpenting, adalah betapa diperlukannya penataan dan manajemen Masjid untuk menertibkan segala macam akrobat dakwah tersebut. 

Di kesempatan lain, juga dijumpai adanya seruan untuk kembali kepada al Quran dan Sunnah. Sebab di luar dari Al Quran dan Sunnah, maka itu dianggap bid'ah, haram, hingga pada kesimpulan halal darahnya. 

Apa jadinya jika pola dakwah Islam menjadi kacau balau seperti ini? Mengapa fenomena ini sedemikian dilonggarkan? Seolah ada pembiaran kita bolehkan semua orang berdakwah sekalipun tak punya adab dalam bertutur kata. Lebih menyedihkan, ketika dari mimbar yang sakral muncul tudingan yang menyesatkan para waliyullah di Tanah Mandar. Juga menjadi ajang untuk menuding pemerintah sebagai orang zhalim, thagut serta lebih biadab dari pada Firaun. 

Padahal, dalam adab dakwah, kita boleh mengkritik pemerintah. Sebab secara teologis, tanggung jawab seorang Da'i bukan kepada siapa-siapa, melainkan kepada Allah swt. Namun menuding Pemerintah sebagai Thaghut, lebih kejam daripada Firaun, sungguh bukan bagian dari akhlak seorang Da'i.  

Mari kita menyaksikan betapa tidak mudahnya umat hari ini untuk mempercayakan persoalan agama pada ahlinya. Ketika wabah Virus Covid 19 ini melanda tanah air, melalui MUI keluar fatwa bahwa untuk sementara waktu, aktivitas di Masjid (Shalat Jamaah, Pengajian dll) dikosongkan. Namun suara perlawanan itu muncul dengan menuduh para Ulama turut serta meninggalkan Masjid, tidak wara', Fatwa Pesanan dan berbagai hujatan keji lainnya. 

Karenanya, fenomena ini harus dibereskan. Sebab pada akhirnya masjid tidak akan memiliki fungsi ideal sebagai medium pencerahan umat. Sebaliknya, akan menjadi wabah pandemi provokasi atas nama agama, atas nama umat Islam. 

Organisasi sekelas Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Dewan Masjid Indonesia (DMI) mesti urung rembuk menyelesaikan sejumlah problematika dakwah di Masjid. Agar Masjid terhindar dari aneka rupa  pertunjukan akrobat dakwah yang ugal-ugalan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui