Dimensi agama itu, kata Dr. Mulyadhi Kertanegara, ibarat dua sisi tampilan rumah. Sisi pertama disebut rumah rendah, dan sisi kedua disebut rumah tinggi.
Pada sisi rumah rendah, sebagai simbol kulit luar agama. Dalam istilah Nurcholish Madjid disebut sebagai eksoterisme. Adapun rumah tinggi sebagai simbol hakikat, atau ruh beragama alias esoterisme.
Kekuatan ruh beragama, memiliki peran vital untuk mencairkan yang beku, melembutkan yang keras, menguatkan yang lemah, menyakinkan yang ragu, bahkan menghidupkan yang mati. Kekuatan Ruh juga menjadi medium utama proses interaksi hamba dengan Tuhannya.
Namun sayang, kebanyakan manusia lebih mengurusi rumah rendah dari pada rumah tingginya. Ia sibuk memberi aksesoris semewah mungkin. Ia ramaikan dengan pesta dan beragam atraksi yang menakjubkan pandangan manusia.
Tengoklah betapa banyaknya hari ini, potret kegiatan religi yang tak ubahnya sebatas arak-arakan atau karnaval semata. Bahkan tak tanggung-tanggung, ia disorot sejumlah awak media, lalu dipamerkan sebagai bentuk kepekaan religius.
Dalam sejumlah momentum politik, Agama seringkali menjadi objek arak-arakan untuk mendulang citra diri sebagai figur religius lagi merakyat. Mulai dari penampilan busana muslim(ah), tangan yang tak lepas dari lingkaran tasbih, zikir akbar, istighasah kubra, yasinan, atau bahkan membuat gerakan shalat Tahajjud se-Kampung.
Dalam dunia entertainment, segmentasi agama acapkali 'dipaksa' untuk menjelma sebagai bagian yang tak terpisahkan dari cita rasa entertainment. Dapat dibayangkan, di Televisi misalnya, hanya karena batasan durasi, ceramah berbobot harus menerima takdir. Ada jeda atas nama order Iklan.
Salahkah? Tidak sepenuhnya salah. Tapi sedang menarik perspektif ini dalam dimensi yang lain, di luar dari konteks salah ataupun benar. Sebab ada yang bakal hilang dari kehidupan kita saat tampilan luar itu terlalu mendapatkan porsi besar dari pada isi terdalam dari diri kita masing-masing.
Artinya, kemungkinan untuk tidak merasakan lezatnya iman (halawatal iman) sangat terbuka lebar. Sehingga, selamanya, agama hanya akan menjadi objek kapitalisasi kepentingan, baik pasar maupun politik.
Sejatinya, dimensi terdalam itu yang harus selalu didahulukan. Menjernihkan orientasi beragama yang bakal ditampilkan di permukaan pada dasarnya memerlukan pertimbangan, atau lebih tepatnya isyarat hati. Dalam hadis disebutkan, jika hati baik, maka baik pulalah yang lain. Namun jika rusak, dampaknya pun bisa meluas menjadi energi negatif yang liar kemana-mana.
Jika kebutuhannya untuk syiar, menebar kebaikan, itu sah dan menggembirakan. Namun jika telah dibalut oleh selendang kepalsuan, di sanalah kita akan menemukan betapa buruknya tabiat para penjual agama, demi kekuasaan yang diburunya.
Jika trend arak-arakan beragama masih menjadi bagian yang terus kita pertontonkan. Maka ia akan terhenti setelah kita tak menemukan atau gagal mencapai hasrat yang selama ini disembunyikan. Jika demikian adanya, sulit untuk berharap hadirnya fungsi agama yang ideal dalam segenap relung kehidupan kita.
Komentar