Langsung ke konten utama

Benih Fundamentalisme Agama

Persoalan Fundamentaslime Agama telah lama menjadi momok besar bagi dunia. Di berbagai belahan bumi porak-poranda sebagian dipicu oleh sentimen fundamentalisme Agama. Bagi Syekh Yusuf Qardhawi, Fundamentaslime itu dipicu oleh beberapa faktor. 

Pertama,  Pemahaman hibrid terhadap konsep agama yang diyakininya. Seorang fundamentasli tak mampu menemukan jatidirinya untuk mendisiplinkan diri terhadap kepatuhannya pada apa yang diyakini. Di saat yang sama, punya kesanggupan menerima hal-hal yang berbeda dari dirinya. 

Untuk mendeteksi benih-benih fundamentalis itu, boleh jadi juga menghinggapi para agen pemberangus fundamentalisme. Dimana tandanya? Ada pada ketidaksiapan menerima perbedaan sebagai keniscayaan hidup. 

Tak hanya sampai disitu saja, ketidaksiapan menerima opsi yang berbeda kadang mengantar pada kesimpulan bahwa orang tersebut adalah lawan dan musuh abadi kehidupan kita. Dalam makna yang seluas-luasnya. 
Kedua, fundamentalisme juga ditemukan dalam hal memahami teks-teks Agama. Karena hanya terpukau oleh narasi tekstual semata. Ia tak memiliki lompatan membaca teks Agama dalam dimensi kontekstualitas. Soal Corona misalnya, hanya menyibaknya dari sisi teks-teks Agama. Sementara di lain sisi, ia gagal mengitegrasikan perspektif kelimuan lainnya.

Ini berdampak pada ciri khas yang ketiga. Yaitu sikap berlebihan dalam mengharamkan sesuatu. Padahal, dalam wacana hukum di dunia ini, sistem hukum Islam sangatlah lentur dalam menyikapi banyak hal. Ketika hukum positif hanya menyajikan dua opsi: Boleh dan tidak Boleh, hukum Islam mempersembahkan pintu pengambilan sikap: Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh dan Haram. 
Keempat, benih fundametalisme Agama juga ditemukan dalam praktek mempertahankan hal-hal furu’iyah/ elementer, lalu mengabaikan agenda besar persatuan Umat. 

Ini serius, sebab jika tak tertangani, benih Fundamentalisme Agama akan mengalami pengembangbiakan menuju Radikalisme. Di atas Radikalisme, tentulah Terorisme. Maka bagi Prof. Quraish Shihab, untuk meretas semua hal di atas, kita merindukan moderasi beragama yang berpijak pada tiga landasan. 

Landasan pertama, yakni perlunya mendudukkan pengetahuan sebagai basis utama dalam memahami konsep Agama. Seseorang akan terus berada dalam genggaman fundamentalisme jika tak ditopang oleh kesiapannya membuka cakrawala pengetahuan. Atau lebih tepatnya, kita diajak untuk sering piknik.

Kedua, di antara pintu setan memojokkan seorang hamba di mata Tuhan, adalah dengan terus menerus memancing emosinya. Tanpa disadari, manusia mengedepankan emosinya dengan membungkusnya pada pijakan-pijakan Agama. Atau sering diisitilahkan dengan atas nama perjuangan Umat Islam. 

Ketiga, kata Pak Quraish, yakni dengan berhati-hati memberi putusan pada setiap persoalan. Kita tak boleh gegabah. Itu sebabnya, para ulama mencontohkan, dalam setiap pengambilan keputusan, kita menyaksikan proses kehati-hatian itu berlangsung. Sebelum memberi sebuah keputusan, biasanya dimulai dengan shalat Taubat serta munajat-munajat tertentu. Tujuannya apa? Agar keputusan yang diambilnya benar-benar terbaik bagi semua pihak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem

Dialog dan Makna Perjumpaan 

Seorang filsuf Jerman, kelahiran Austria terkenal dengan filsafat dialognya. Dialah pria yang bernama Martin Buber. Ia lahir di Wina, dari sebuah keluarga Yahudi yang taat, namun berpisah dari tradisi Yahudi untuk mempelajari filsafat secara sekuler. Selain sebagai seorang filsuf, Buber juga dikenal sebagai teolog dan politikus. Ia memiliki darah Yahudi dan amat dipengaruhi oleh tradisi agama Yahudi di dalam pemikirannya. Dari pergulatan pemikirannya itu, ia membangunkan kesadaran manusia terhadap perilaku sehari-hari. Khususnya tentang tema dari makna perjumpaan sesungguhnya.  Pertanyaan paling menukik dari konsep Martin Buber adalah: Bagaimana mengetahui bahwa komunikasi kita benar-benar telah berhasil mengikat hubungan sesama manusia? Apakah dimensi komunikasi kita telah meletakkan perubahan sikap setelahnya, atau tidak sama sekali?  Dalam argumentasi yang terbalik, sejauh ini, betapa banyak kanal komunikasi yang dirancang bangun oleh manusia, namun tersungkur dalam pui