Langsung ke konten utama

Suluk Matan dan Gairah Spiritual


“Masihkah metode pengajaran spiritual yang selama ini diterapkan relevan dengan kondisi kekinian? Apa yang harus dilakukan oleh para pengamal Thariqah untuk menjemput era 4.0?”

Demikian pertanyaan menukik yang dilontarkan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf al Makassary, Habib Abdul Rahim Aseggaf atau sering disapa Puang Makka, jelang akhir tahun 2019 lalu, di Makassar.

Pertanyaan itu cukup beralasan. Di tengah derasnya sajian agama yang kian instan serta munculnya beragam praktek spiritual yang bermasalah, meniscayakan perlunya menemukan pola baru.

Setidaknya ada dua poros yang patut dicermati. Pertama, kehadiran sajian tema-tema agama di media sosial semakin memunculkan problem beragama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Tak jarang, orang tua menjadi objek tuduhan negatif dari anaknya sendiri. Bahwa mereka telah salah dalam mentranformasikan ajaran agama selama ini. Bahkan bukan hal aneh, ketika wibawa orang tua masa kini diruntuhkan oleh para pembawa agama yang serba kaku. Wal hasil, orang tua dituduh sebagai pelaku kesesatan. Lebih fatal, orang tua dikafirkan oleh anaknya sendiri.

Kedua, kemunculan para pengamal spiritual yang cenderung bermasalah. Setidaknya ditinjau dari perspektif ketersambungan (sanad) kepada Rasulullah Saw, serta orisinalitas ajaran yang dibawanya.
Pada sisi ini pun tak kalah krusialnya. Dapat dibayangkan, di tengah arus informasi yang sedemikian canggih, justeru memunculkan sejumlah problem kekeringan spiritual. 

Lebih ironis, pilihan-pilihan yang dicetuskan justeru memilih jalur spiritual yang sulit dipertanggungjawabkan. Sekali lagi, penerima dampak terdekat adalah keluarga. Di lingkar terdalam keluarga, tema ketuhanan dibicarakan sedemikian pelik, shalat dibahas dalam cita rasa sangat ontologis. Sementara aspek syariat kian hari kian disepelekan.

Melihat dua poros persoalan tersebut, maka diperlukan semacam pola baru untuk menyajikan spiritualitas sebagai cara untuk mengobati penyakit yang diderita oleh manusia modern. Kita membutuhkan terapi terkini untuk menjawab persoalan-persoalan kebatinan yang mendera umat manusia saat ini.

Pengembangan Thariqah

Salah satu metode yang sedang mengalami proses trasnformasi itu, yakni pengembangan model pengajaran Thariqah di kalangan umat Islam. Jika dahulu memiliki kesan sangat eksklusif, kolot, tertutup dan cenderung sulit dicapai, kini tak lagi demikian. Sebaliknya, dunia Thariqah justeru cenderung membuka ruang bagi siapapun yang berkeinginan menata hati dan pikirannya, agar tak tersesat di jalan berliku.

Di sinilah posisi organisasi Keagamaan dan Kemahasiswaan, Mahasiswa Ahlith Thariqah al Mu’tabarah an Nahdliyah, disingkat MATAN. Dikutip dari laman www.jatman.or.id, gagasan awal MATAN bermula dari sebuah diskusi kecil pada sore hari sekitar pukul 15.30 – 17.00 WIB, tepatnya Ahad, tanggal 2 Agustus 2009 (11 Sya’ban 1430), di emperan dalam (kediaman) Habib Luthfi bin Ali bin Yahya, di Pekalongan.

Diskusi terjadi antara Dr. H. Hamdani Mu’in, M.Ag dengan KH. Dimyati Rois (Mustasyar PBNU periode 2010-2015 dan Pengasuh PP Al-Fadlu Kaliwungu), bersama beberapa mahasiswa; Abdul Rosyid, M. Mahfudz, Syariful Anam, Asep Syaiful Zulfikar, M. Ridlo, Kholid Abdillah, Nurul Mu’amar, Dedi Rosadi, Ubaidillah dan Riyadli Muhlisin.
Saat itu, mereka sedang berdiskusi tentang keprihatinan terhadap fenomena radikalisme dan pragmatisme di kalangan mahasiswa. Serta mewacanakan adanya pergerakan spiritualitas dan intelektualitas di kalangan mahasiswa untuk merespon hal tersebut.
Sebenarnya jauh sebelum kelahiran MATAN, pada tahun 2000, Habib Luthfi sudah berkeinginan untuk mengorganisir kalangan pemuda berthariqah. Namun hal tersebut baru dapat terealisasi pada periode ke 3 kepemimpinan beliau sebagai Rais Aam JATMAN, tepatnya pada Muktamar ke XI di Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Suluk MATAN
Di antara agenda yang saat ini intens digerakkan adalah melalui program Suluk MATAN. Semacam pelatihan plus kaderisasi bagi siapapun yang berkeinginan memahami konsep serta landasan dasar dalam mengarungi lika-liku menempuh perjalanan spiritual.
Dalam suluk MATAN ini, ditekankan urgensi penguatan orientasi (niat) sebelum benar-benar meniti jalan ber-Thariqah. Orientasi yang dimaksud adalah upaya menjernihkan diri dari segala macam bias-bias kepentingan. Baik berupa kepentingan personal maupun kelompok tertentu. Sebab dalam konsep ini, sangat diyakini bahwa siapapun yang meremehkan niat, maka ia takkan pernah sampai di pulau harapan.
Aspek lain yang juga diajarkan dalam suluk MATAN adalah pentingnya memahami konsep kepatuhan kepada  Mursyid alias pembimbing spiritual. Sebab ketika seseorang bermursyid, sedikitpun tak boleh menyimpan rasa curiga. Ia terlarang untuk menuduh gurunya pragmatis, mengejar kekayaan, serba politis serta berbagai tuduhan maupun kecurigaan lainnya. Sebab itu merupakan konsekwensi kepatuhan dalam ber-Thariqah. Sami’na wa Atha’na.
Di Sulawesi Barat sendiri, telah dilangsungkan suluk MATAN sebanyak 3 kali. Yakni di Mamuju, Lapeo dan Bambaloka, Pasangkayu belum lama ini. Di bawah kepemimpinan Kiai Ahmad Multazam, Cicit dari KH. Muhammad Thahir Imam Lapeo, MATAN Sulbar sedang melebarkan sayap ke berbagai pelosok dengan desain road show pengajian, Ngobrol Sufi (Ngofi) serta majelis Zikir.
Namun perlu diketahui, suluk MATAN tidak berada pada posisi mengarahkan satu jenis Thariqah tertentu. Sebaliknya, justeru bertugas  menghadirkan berbagai mursyid dari sekian banyak aliran Thariqah yang mu’tabarah di hadapan peserta suluk MATAN. Seluruh peserta diberi kebebasan menentukan pilihannya masing-masing. Bukan mustahil jika ada peserta yang hingga akhir kegiatan sama sekali tak menentukan pilihan. Sebab itu pun juga pilihan manusia merdeka.
Apakah ini tidak semakin merumitkan masa depan manusia yang hendak meraih kebahagiaan spiritual? Jawabannnya, semua pilihan memiliki konsekwensi. Dan tugas paling berat bagi para pemburu spiritualitas adalah melepaskan segala macam egoisme (takabbur) yang selama ini mendekam lama dalam dirinya. Sebab satu hal yang patut diketahui, sebagai manusia awam, sulit melepas diri dari jeratan dosa lahiriyah. Namun lebih sulit memerdekakan diri dari belenggu dosa bathiniyah. 


Mamuju, 10 Januari 2020,-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Al-Faqir Sebagai Identitas Diri

Dalam buku Pesantren Studies 2b (2012), Ahmad Baso mengulas seputar kebiasaan orang-orang pesantren menandai diri sebagai al-Faqir. Jika dalam pemaknaan sederhana, jelas akan menyibak kesimpulan patah. Sebab bakal diseret pada asumsi serba kere, terbatas dan tak berdaya saing.  "Ini adalah kebiasaan kalangan pesantren untuk menunjukkan identitas dirinya yang bersikap tawadhu atau merendahkan hati di depan khalayaknya. Bukan merendahkan diri mereka sendiri," demikian ulasan Ahmad Baso.  Padahal, lanjutnya, ini semata-mata untuk tetap menjaga dan merawat bangunan kesucian batin yang terus diasah agar tak lepas kendali, masuk dalam sengkarut kesombongan, riya dan sum'ah. Perilaku ini disebut dengan Iltimasul Ma'dzirah . Yakni, sikap mengedepankan kerendahan hati, lebih menampilkan sisi kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari sikap menjaga gerak-gerak batin.  Ini bukan tanpa landasan, tanpa makna. Sebab Nabi saw-pun mengajarkan satu doa agar tetap dijadi

Nasehat Politik Fathimah Binti Muhammad SAW

Sayup-sayup terdengar rintihan tangisan di malam hari dari balik hijab. Kedua Cucu panutan agung sepanjang zaman Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husain, sontak terbangun menelusuri dari mana muara rintihan yang makin lama makin terisak-isak. Tak disangka, ibu dari kedua putera kecil itulah yang ternyata sedang menengadahkan kedua tangannya, seraya bersenandung doa, menyebut satu persatu nama kaum muslimin, mengurai setiap rintihan hidup umat Islam kala itu. Dialah Fathimah binti Muhammad SAW, Sang puteri yang digelari Sayyidati Nisa al Alamin , penghulu kaum perempuan semesta alam. Hasan dan Husain kemudian menanti Ibunya hingga menyelesaikan shalatnya. Kedua anak tersebut bertanya pada Ibunya tentang alasan mengapa dalam setiap doanya selalu saja terbentang deretan nama orang-orang di sekelilingnya, namun jarang mendoakan dirinya. Dengan lugas, Fathimah menjawab: “Yaa Bunayya, al-Jar Qabla al-Dar” (Wahai anakku, Dahulukan tetangga sebelum diri sendiri). Pernyataan singkat di atas kem